Rabu, 16 November 2011

Suamiku, Aku begitu mencintaimu.. *)

*Ketika sedang asik berselancar di dunia maya, saya tidak sengaja menemukan sebuah kisah inspiratif yang mengharukan tentang ketulusan cinta. Berikut kisahnya.*



Cinta itu butuh kesabaran. Namun, sampai dimanakah kita harus bersabar menanti cinta kita??

***

Hari itu aku dengannya berkomitmen untuk menjaga cinta kita. Aku menjadi perempuan yang paling bahagia. Pernikahan kami sederhana tapi sangat meriah. Ia menjadi pria yang sangat romantis pada saat itu. Menikah dengan seorang pria yang shaleh, pintar, tampan, dan mapan pula. Ketika kami pacaran ia sudah sukses dalam karirnya. Kami berbulan madu di tanah suci, itu janjinya ketika kami berpacaran. Setelah menikah aku mengajaknya umroh ke tanah suci. Aku sangat bahagia dengannya, ia sangat memanjakan aku. Sangat terlihat rasa cinta dan sayangnya padaku. Banyak orang yang bilang kami pasangan yang serasi. Sangat terlihat sekali bagaimana suamiku memanjakanku. Aku bahagia menikah dengannya.

***

Lima tahun sudah kami menikah, sangat tak terasa waktu berjalan, walaupun kami hanya berdua saja. Karena sampai saat ini aku belum bisa memberikannya seorang malaikat kecil di tengah keharmonisan rumah tangga kami. Karena dia anak lelaki satu–satunya dalam keluarganya, jadi aku harus berusaha untuk dapat meneruskan generasinya. Alhamdulillah suamiku mendukungku. Ia mengaggap Allah belum mempercayai kami untuk menjaga titipan-Nya. Tapi keluarganya mulai resah.

Dari awal kami menikah ibu dan adiknya tidak menyukaiku. Aku sering mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan dari mereka. Tapi aku menutupinya dari suamiku. Di depan suamiku mereka sangat baik padaku, tapi dibelakang suamiku aku dihina–hina oleh mereka.

Pernah suatu ketika, satu tahun usia pernikahan kami, suamiku mengalami kecelakaan. Mobilnya hancur. Alhamdulillah suamiku selamat dari maut yang hampir membuatku menjadi seorang janda. Ia dirawat dirumah sakit. Pada saat dia belum sadarkan diri, aku selalu menemaninya siang & malam, kubacakan ayat–ayat suci Al-Qur’an. Aku sibuk bolak–balik rumah sakit dan tempat aku melakukan aktivitas sosialku, aku sibuk mengurus suamiku yang sakit karena kecelakaan.

Ketika aku kembali ke rumah sakit setelah dari rumah kami, aku melihat didalam kamarnya ada ibu, adik–adiknya, dan teman-teman suamiku, dan satu lagi aku melilhat seorang wanita yg sangat akrab dengan ibunya. Mereka tertawa menghibur suamiku. Alhamdulillah suamiku ternyata sudah sadar. Aku menangis ketika melihat suamiku sudah sadar, tapi aku tak boleh sedih di depannya.

Kubuka pintu yang tertutup rapat itu sambil mengatakan “Assalammu’alaikum.” Mereka menjawab salamku. Aku berdiam sejenak di depan pintu dan mereka semua melihatku. Suamiku menatapku penuh manja, mungkin ia kangen padaku karena sudah lima hari matanya selalu tertutup. Tangannya melambai, mengisyaratkan aku untuk memegang tangannya yang erat. Setelah aku menghampirinya, kucium tangannya sambil berkata “Assalammu’alaikum”, ia pun menjawab salamku dengan suaranya yang lirih tapi penuh dengan cinta. Aku pun senyum melihat wajahnya.

Ibunya lalu berbicara sama aku, “Fis, kenalkan ini Desi teman Fikri.”

Aku teringat cerita dari suamiku bahwa teman baiknya pernah mencintainya, perempuan itu bernama Desi, dan dia sangat akrab dengan keluarga suamiku. Dan akhirnya aku bertemu dengan orangnya juga. Aku pun langsung berjabat tangan dengannya. Tak banyak aku biacara di dalam ruangan itu, aku tak mengerti apa yg mereka bicarakan. Aku sibuk membersihkan dan mengobati luka–luka di kepala suamiku. Baru sebentar aku membersihkan mukanya, tiba–tiba adik iparku yang bernama Dian mengajakku keluar, ia minta ditemani ke kantin. Dan suamiku pun mengijinkannya. Aku pun menemaninya.

Tapi ketika di luar adik iparku berkata, ”lebih baik kau pulang saja. Ada kami yg menjaga abang disini. Kau istirahat saja. ” Aku pun tak diperbolehkan berpamitan dengan suamiku dengan alasan abang harus banyak beristirahat karena kondisi psikologisnya masih labil. Aku berdebat dengannya mengapa aku tidak boleh pamitan pada suamiku, tapi tiba–tiba ibu mertuaku datang menghampiriku dan ia mengatakan hal yang sama, ia akan memberi alasan pada suamiku mengapa aku pulang tak pamitan padanya. Toh suamiku selalu menurut apa kata ibunya, baik ibunya salah suamiku tetap saja membenarkannya.

Akhirnya aku pun pergi meninggalkan rumah sakit itu dengan linangan air mata. Sejak saat itu aku tidak pernah diijinkan menjenguk suamiku sampai ia kembali dari rumah sakit. Dan aku hanya bisa menangis dalam kesendirianku. Menangis mengapa mereka sangat membenciku.

***

Hari itu, aku menangis tanpa sebab. Yang ada di benakku aku takut kehilangannya, aku takut cintanya dibagi dengan yang lain. Pagi itu, pada saat aku membersihakan pekarangan rumah kami, suamiku memanggilku ke taman belakang. Ia baru saja selesai sarapan. Ia mengajakku duduk di ayunan favorit kami, sambil melihat ikan-ikan yang bertaburan di kolam air mancur itu.

Aku bertanya, ”Ada apa kamu memanggilku?”

Ia berkata, ”Besok aku akan menjenguk keluargaku di Sabang.”

Aku menjawab, ”Ia sayang aku tahu, aku sudah mengemasi barang–barangmu di travel bag dan kamu sudah pegang tiket kan?”

“Ya, tapi aku tak akan lama disana, cuma 3 minggu aku disana. Aku juga sudah lama tidak bertemu dengan keluarga besarku sejak kita menikah. Dan aku akan pulang dengan mamaku”, jawabnya tegas.

“Mengapa baru bicara? Aku pikir hanya seminggu saja kamu disana”, tanyaku balik kepadanya penuh dengan rasa penasaran dan sedikit rasa kecewa karena ia baru memberitahu rencana kepulangannya itu, padahal aku bersusah payah mencarikan tiket pesawat untuknya.

”Mama minta aku yang menemaninya saat pulang nanti”, jawab nya tegas.

”Sekarang aku ingin seharian denganmu, karena nanti kita 3 minggu tidak bertemu, ya kan?” lanjutnya lagi sambil memelukku dan mencium keningku.

Hatiku sedih dengan keputusannya, tapi tak boleh aku tunjukkan padanya. Bahagianya aku dimanja dengan suami yang penuh dengan rasa sayang dan cinta. Walau terkadang ia bersikap kurang adil terhadapku. Aku hanya bisa tersenyum saja. Padahal aku ingin bersama suamiku, tapi karena keluarganya tidak menyukaiku hanya karena mereka cemburu padaku karena suamiku sangat sayang padaku, aku memutuskan agar ia saja yang pergi, dan kami juga harus berhemat dalam pengeluaran anggaran rumah tangga kami.

Karena ini acara sakral bagi keluarganya. Jadi seluruh keluarganya harus komplit, aku pun tak diperdulikan oleh keluarganya harus datang atau tidak, tidak hadir justru membuat mereka sangat senang. Aku pun tak mau membuat riuh keluarga ini.

Malam sebelum kepergiannya, aku menangis sambil membereskan keperluannya yang akan dibawa ke Sabang. Ia menatapku dan menghapus air mata yang jatuh dipipiku. Lalu aku peluk erat dirinya. Hati ini bergumam seakan terjadi sesuatu, tapi aku tidak tahu apa yang akan terjadi. Aku hanya bisa menangis karena akan ditinggal pergi olehnya. Aku tidak pernah ditinggal pergi selama ini karena kami selalu bersama–sama kemana pun ia pergi. Apa mungkin aku sedih karena aku sendirian tidak punya teman, hanya pembantu saja teman ngobrolku.

Hati ini sedih akan ditinggal pergi olehnya. Sampai keesokan harinya, aku menangis. Menangisi kepergiannya. Aku tak tahu mengapa sesedih ini, perasaanku tak enak, tapi aku tak boleh berburuk sangka. Aku harus percaya pada suamiku. Dia pasti akan selalu menelponku.

***

Berjauhan dengan suamiku sangat tidak nyaman, aku merasa sendiri. Untunglah aku mempunyai kesibukan sebagai seorang aktivis, jadi aku tak terlalu kesepian ditinggal pergi ke Sabang.

Saat kami berhubungan jarak jauh, komunikasi kami buruk. Saat ia di sana aku pun jatuh sakit. Rahimku sakit sekali seperti dililit oleh tali. Tak tahan aku menahan rasa sakit dirahimku ini, sampai–sampai aku mengalami pendarahan. Aku dilarikan ke rumah sakit oleh adik laki-lakiku yang kebetulan menemaniku di sana. Dokter memvonis aku terkena kanker mulut rahim stadium 3. Aku menangis. Apa yang bisa aku banggakan lagi. Mertuaku akan semakin menghinaku. Suamiku yang malang, yang berharap akan punya keturunan dari rahimku. Aku tak bisa memberikannya keturunan. Dan aku hanya memeluk adikku.

Aku kangen pada suamiku, aku menunggu ia pulang. Kapan ia pulang, aku tak tahu.

Sementara suamiku disana, aku tidak tahu mengapa ia selalu marah-marah jika menelponku. Bagaimana aku akan cerita kondisiku jika ia selalu marah–marah terhadapku. Lebih baik aku tutupi dulu. Aku juga tak mau membuatnya khawatir selama ia berada di Sabang. Lebih baik nanti saja ketika ia sudah pulang dari Sabang, aku akan cerita padanya. Setiap hari aku menanti suamiku pulang, hari demi hari aku hitung. Sudah 3 minggu suamiku di Sabang.

Malam itu ketika aku sedang melihat foto–foto kami, ponselku berbunyi, menandakan ada sms yang masuk. Kubuka di inbox ponselku, ternyata dari suamiku yang sms. Ia menulis “Aku sudah beli tiket untuk pulang. Aku pulangnya satu hari lagi. Nanti aku kabarin lagi.” Hanya itu saja yang diinfokannya. Aku ingin marah, tapi aku pendam saja ego yang tidak baik ini.

Hari yg aku tunggu pun tiba. Aku menantinya di rumah. Sebagai seorang istri, aku pun berdandan yang cantik dan memakai parfum kesukaannya untuk menyambut suamiku pulang. Dan aku akan menyelesaikan masalah komunikasi kami yg buruk akhir-akhir ini.

Bel pun berbunyi. Kubukakan pintu untuknya. Ia pun mengucap salam. Sebelum masuk, aku pegang tangannya ke depan teras. Ia tetap berdiri, aku membungkuk untuk melepaskan sepatu, kaos kaki, dan kucuci kedua kakinya. Aku tak mau ada syaithan yang masuk ke dalam rumah kami. Setelah itu aku pun berdiri langsung mencium tangannya. Tapi apa reaksinya. MasyaAllah, ia tidak mencium keningku. Ia langsung naik ke atas. Ia langsung mandi dan tidur, tanpa bertanya kabarku. Aku hanya berpikiran mungkin dia capek. Aku pun segera merapikan bawaannya sampai aku pun tertidur.

Malam menunjukkan sepertiga malam, mengingatkan aku pada tempat mengadu yaitu Allah, Sang Maha Pencipta. Biasanya kami selalu berjama’ah. Tapi karena melihatnya tidur sangat pulas, aku tak tega membangunkannya. Aku elus mukanya, aku cium keningnya, lalu aku sholat tahajud 8 raka'at plus witir 3 raka'at.

***

Aku mendengar suara mobilnya. Aku terbangun, lalu aku lihat ia dari balkon kamar kami. Ia bersiap-siap untuk pergi. Aku memanggilnya, tapi ia tak mendengar. Lalu aku langsung ambil jilbabku, aku lari dari atas ke bawah tanpa mempedulikan darah yang bercecer dari rahimku. Aku mengejarnya tapi ia begitu cepat pergi. Ada apa dengan suamiku? Mengapa ia sangat aneh terhadapku?

Aku tidak bisa diam begitu saja, firasatku mengatakan ada sesuatu. Saat itu juga aku langsung menelpon ke rumah mertuaku, kebetulan Dian yang angkat telponnya. Aku bercerita dan aku bertanya apa yang terjadi dengan suamiku. Dengan enteng ia menjawab, “Loe pikir aja sendiri!!” Telpon pun langsung terputus.

Ada apa ini? Tanya hatiku penuh dalam kecemasan. Mengapa suamiku berubah setelah ia pulang dari kota kelahirannya? Mengapa ia tak mau berbicara padaku, apalagi memanjakanku? Semakin hari ia menjadi orang yang pendiam, seakan ia telah melepas tanggung jawabnya sebagai seorang suami. Kami berbicara seperlunya saja. Aku selalu diintrogasinya. Aku dari mana dan mengapa pulang terlambat, ia bertanya dengan nada yg keras. Suamiku telah berubah. Bahkan yang membuatku kaget, aku pernah dituduhnya berzina dengan mantan pacarku. Ingin rasanya aku menampar suamiku yang telah menuduhku serendah itu. Tapi aku selalu ingat, bagaimanapun salahnya seorang suami, status suami tetap di atas para istri. Itu yang aku pegang. Aku hanya berdo’a agar suamiku sadar akan perilakunya.

***

Dua tahun berlalu, suamiku tak berubah juga. Aku menangis tiap malam. Lelah menanti seperti ini. Kami seperti orang asing yang baru saja kenal. Kemesraan yang kami ciptakan dulu telah sirna, walaupun kondisinya tetap seperti itu. Aku tetap merawatnya dan menyiapi segala yang ia perlukan. Penyakitku pun masih aku simpan dengan baik dan ia tak pernah bertanya obat apa yang aku minum. Kebahagiaanku telah sirna. Harapan menjadi ibu pun telah aku pendam. Aku tak tahu kapan ini semua akan berakhir. Bersyukurlah, aku punya penghasilan sendiri dari aktifitasku sebagai seorang guru ngaji. Jadi aku tak perlu repot–repot meminta uang padanya hanya untuk pengobatan kankerku. Aku pun hanya berobat semampuku. Sungguh suami yang dulu aku puja, aku banggakan, sekarang telah menjadi orang asing. Setiap aku tanya ia selalu meyuruhku untuk berpikir sendiri.

Tiba–tiba saja malam itu setelah makan malam selesai suamiku memanggilku.

“Ya, ada apa Yah?” sahutku dengan memanggil nama kesayangannya: Ayah.

“Lusa kita siap–siap ke Sabang ya!” jawabnya tegas.

”Ada apa? Mengapa?” sahutku penuh dengan keheranan.

Astaghfirullah... Suamiku yang dulu lembut menjadi kasar. Ia mebentakku. Tak ada lagi diskusi antara kami.

Ia berkata, ”Kau ikut saja, jangan banyak tanya!!!”

Aku pun mengemasi barang–barang yang akan dibawa ke Sabang sambil menangis, sedih karena suamiku yang tak kukenal lagi. Dua tahun pacaran, lima tahun kami menikah, dan sudah dua tahun pula ia menjadi orang asing buatku. Kulihat kamar kami yang dulu hangat penuh cinta yang dihiasi foto pernikahan kami sekarang menjadi dingin, sangat dingin dari batu es. Aku menangis dengan kebingungan ini. Ingin rasanya aku berontak tapi aku tak bisa. Suamiku tak suka dengan wanita yang kasar, ngomong dengan nada tinggi, suka membanting barang-barang. Ia bilang perbuatan itu menunjukkan ketidakhormatan kepadanya. Aku hanya bisa bersabar menantinya bicara dan sabar mengobati penyakitku ini sendiri.

***

Kami telah sampai di Sabang. Aku masih merasa lelah karena semalaman aku tidak tidur, karena terus berpikir. Keluarga besarnya telah berkumpul di sana, termasuk ibu dan adik-adiknya. Aku tidak tahu ada acara apa ini.

Aku dan suamiku pun masuk ke kamar kami. Suamiku tak betah didalam kamar tua itu, ia pun keluar bergabung dengan keluarga besarnya. Baru saja aku membongkar koper kami dan ingin memasukkannya ke dalam lemari tua yang berada di dekat pintu kamar, lemari tua itu telah ada sebelum suamiku lahir, tiba-tiba Tante Lia, tante yang sangat baik padaku, memanggilku untuk segera berkumpul di ruang tengah. Aku pun ke ruang keluarga yang berada di tengah rumah besar itu, rumah jaman peninggalan Belanda dimana langit-langitnya lebih dari 4 meter.

Aku duduk disamping suamiku. Suamiku menunduk penuh dengan kebisuan, aku tak berani bertanya padanya. Tiba–tiba saja neneknya, orang yang dianggap paling tua dan paling berhak atas semuanya, membuka pembicaraan.

“Baiklah, karena kalian telah berkumpul, nenek ingin bicara dengan kau Fisha!” Neneknya bicara sangat tegas dengan sorot mata yang tajam.

”Ada apa ya, Nek?” sahutku dengan penuh tanya.

Nenek pun menjawab, ”Kau telah gabung dengan keluarga kami hampir delapan tahun. Sampai saat ini kami tak melihat tanda–tanda kehamilan yang sempurna, sebab selama ini kau selalu keguguran!!"

Aku menangis. Untuk inikah aku diundang kemari? Untuk dihina atau dipisahkan dengan suamiku.

“Sebenarnya kami sudah punya calon untuk Fikri, dari dulu, sebelum kau menikah dengannya. Tapi Fikri anak yang keras kepala, tak mau di atur, dan akhirnya menikahlah ia dengan kau.” Neneknya berbicara sangat lantang, mungkin logat orang Sabang seperti itu semua.

Aku hanya bisa tersenyum dan melihat wajah suamiku yang kosong matanya.

“Dan aku dengar dari ibu mertuamu kau pun sudah berkenalan dengannya.”

Neneknya masih melanjutkan pembicaraan itu. Sedangkan suamiku hanya diam saja, tapi aku lihat air matanya. Ingin kupeluk suamiku agar ia kuat dengan semua ini, tapi aku tak punya keberanian. Neneknya masih saja berbicara panjang lebar dan yang terakhir dari pembicaraannya ialah dengan wajah yang sangat menantang ia berkata, ”Kau maunya gimana? Kau dimadu atau diceraikan?”

MasyaAllah... Kuat kan hati ini. Aku ingin jatuh pingsan. Hati ini seakan remuk mendengarnya. Hancur hatiku. Mengapa keluarganya bersikap seperti ini terhadapku. Aku selalu munutupi masalah ini dari kedua orang tuaku yang tinggal di pulau kayu tersebut, mereka mengira aku sangat bahagia dua tahun belakangan ini.

“Fish, jawab!!” Dengan tegas ibunya langsung memintaku untuk menjawab.

Aku langsung memegang tangan suamiku. Dengan tangan yang dingin dan gemetar aku menjawab dengan tegas. ”Walaupun aku tidak bisa berdiskusi dulu dengan imamku, tapi aku dapat berdiskusi dengannya melalui bathiniah. Untuk kebaikan dan masa depan keluarga ini, aku akan menyambut baik seorang wanita baru dirumah kami.” Itu yang aku jawab. Dengan kata lain aku rela cinta ku dibagi.

Pada saat itu juga suamiku memandangku dengan tetesan air mata, tapi mataku tak sedikit pun menetes di hadapan mereka. Aku lalu bertanya kepada suami ku, “Ayah siapakah yang akan menjadi sahabatku di rumah kita nanti, Yah?”

Suamiku menjawab, ”Dia Desi.”

Aku pun langsung menarik napas dan langsung berbicara, ”Kapan pernikahannya berlangsung? Apa yang harus saya siapkan dalam pernikahan ini, Nek?”

Ayah mertuaku menjawab, “Pernikahannya dua minggu lagi.”

”Baiklah kalo begitu saya akan menelpon pembantu di rumah untuk menyuruhnya mengurus KK kami ke kelurahan besok.”

Setelah berbicara seperti itu aku permisi untuk pamit ke kamar. Tak tahan lagi. Air mata ini akan turun. Aku berjalan sangat cepat. Aku buka pintu kamar, aku langsung duduk di tempat tidur. Ingin berteriak, tapi aku sendiri disini. Tak kuat rasanya menerima hal ini. Cintaku telah dibagi. Sakit, diiringi akutnya penyakitku. Apakah karena ini suamiku menjadi orang yang asing selama dua tahun belakangan ini?

Aku berjalan menuju ke meja rias. Kubuka jilbabku. Aku bercermin, sudah tidak cantikkah aku ini? Ku ambil sisirku. Aku menyisiri rambutku yang setiap hari rontok. Kulihat wajahku, ternyata aku memang sudah tidak cantik lagi. Rambutku sudah hampir habis, kepalaku sudah botak dibagian tengahnya.

Tiba–tiba pintu kamar ini terbuka, ternyata suamiku datang. Ia berdiri dibelakangku. Tak kuhapus air mata ini. Aku langsung memandangnya dari cermin meja rias itu. Kami diam sejenak, lalu aku mulai pembicaraan.

“Terimah kasih ayah, kamu memberi sahabat kepadaku. Jadi aku tak perlu sedih lagi saat ditinggal pergi kamu nanti, iya kan?”

Suami ku mengangguk sambil melihat kepalaku, tapi tak sedikit pun ia tersenyum dan bertanya kenapa rambutku rontok. Ia hanya mengatakan jangan salah memakai shampo. Dalam hatiku "mengapa ia sangat cuek?" Ia sudah tak memanjakanku lagi.

Lalu ia bilang, “Sudah malam, kita istirahat yuk!”

“Aku sholat isya dulu baru aku tidur”, jawabku tenang.

Dalam sholat, dalam tidur aku menangis. Ku hitung waktu, kapan aku akan berbagi suami dengannya. Aku pun ikut sibuk mengurusi pernikahan suamiku. Aku tak tahu kalau Desi orang Sabang juga. Sudahlah ini mungkin takdirku. Aku ingin suamiku kembali seperti dulu, yang sangat memanjakan aku. Dimana rasa sayang dan cintanya itu??

***

Malam sebelum hari pernikahan suamiku, aku menulis curahan hatiku di laptopku. Di laptop aku menulis saat–saat terakhirku melihat suamiku. Aku marah pada suamiku yang telah menelantarkanku. Aku menangis melihat suamiku yang tidur pulas. Apa salahku sampai ia berlaku kejam kepadaku? Aku save di My Document yang bertitle “Aku mencintaimu, Suamiku.”

Hari pernikahan telah tiba. Aku telah siap, tapi aku tak sanggup untuk keluar. Aku berdiri di dekat jendela. Aku melihat matahari. Mungkin aku takkan bisa melihat sinarnya lagi. Aku berdiri sangat lama. Lalu suamiku yang telah siap dengan pakaian pengantinnya masuk dan berbicara padaku.

“Apakah kamu sudah siap?”

Kuhapus airmata yang menetes diwajahku sambil berkata, “Nanti jika ia telah sah jadi istrimu, ketika kamu membawanya masuk ke dalam rumah ini, cucilah kakinya sebagaimana kamu mencuci kakiku dulu. Lalu ketika kalian masuk ke dalam kamar pengantin, bacakan do’a di ubun–ubunya sebagaimana yang kamu lakukan padaku dulu. Lalu setelah itu....”

Tak sanggup aku ingin meneruskan pembicaraan ini, aku ingin menagis meledak.

Tiba–tiba suamiku menjawab, “Lalu apa Bunda?”

Aku kaget mendengar kata itu. Yang tadinya aku menunduk, aku langsung menatapnya dengan mata yang berbinar–binar.

“Bisa kamu ulangi apa yang kamu ucapkan barusan?” pintaku untuk menyakini bahwa kuping ini tidak salah mendengar.

Ia mengangguk dan berkata, ”Baik bunda, akan ayah ulangi. Lalu apabunda?” Sambil ia mengelus wajah dan menghapus airmataku. Ia agak sidikit membungkuk karena ia sangat tinggi, aku hanya sedadanya saja. Dia tersenyum, sambil berkata, ”Kita lihat saja nanti ya!”

Dia memelukku dan berkata, “Bunda adalah wanita yang paling kuat yang ayah temui selain mama.”

Lalu ia mencium keningku, aku langsung memeluknya erat dan berkata, ”Ayah, apakah ini akan segera berakhir? Ayah kemana saja? Mengapa ayah berubah? Aku kangen sama ayah. Aku kangen belaian kasih sayang ayah. Aku kangen dengan manjanya ayah. Aku kesepian, ayah. Dan satu hal lagi yang harus ayah tau bahwa aku tidak pernah berzinah! Dulu waktu awal kita pacaran aku memang belum bisa melupakannya. Setelah empat bulan bersama ayah baru bisa aku terima jika yang dihadapanku itu adalah lelaki yang aku cari. Bukan berarti aku pernah berzina, ayah.”

Aku langsung bersujud di kakinya dan muncium kaki imamku sambil berkata, ”Aku minta maaf, ayah, telah membuatmu susah.” Saat itu juga, diangkatnya badanku. Ia hanya menangis. Ia memelukku sangat lama. Dua tahun aku menanti dirinya kembali.

Tiba–tiba perutku sakit. Ia menyadari bahwa ada yang tidak beres denganku. Dan ia bertanya, ”Bunda baik–baik saja kan?” tanyanya dengan penuh khawatir.

Aku pun menjawab, “Bisa memeluk dan melihatmu kembali seperti dulu itu sudah membuatku baik Yah.”

Aku tak bisa bicara sekarang karena ia akan menikah. Aku tak mau membuatnya khawatir. Ia harus khusyu menjalani acara prosesi akad nikah tersebut.

***

Setelah tiba di masjid, ijab qabul pun dimulai. Aku duduk di seberang suamiku. Aku melihat suamiku duduk berdampingan dengan perempuan itu. Membuat hati ini cemburu, ingin berteriak mengatakan “Ayah jangan!!” Tapi aku ingat akan kondisiku.

Jantung ini berdebar kencang ketika mendengar ijab qabul tersebut. Begitu ijab qabul selesai, aku menarik napas panjang. Tante Lia, tante yang baik itu, memelukku. Dalam hati aku berusaha untuk menguatkan hati ini, ya, aku kuat. Tak sanggup aku melihat mereka duduk bersanding di pelaminan. Orang-orang yang hadir di acara resepsi itu iba melihatku. Mereka melihatku sangat aneh. Wajahku yang selalu tersenyum tapi hatiku menangis.

Sampai dirumah, suamiku langsung masuk ke dalam rumah begitu saja, tak mencuci kakinya. Aku sangat heran dengan perilakunya. Apa iya, dia tidak suka dengan pernikahan ini? Sementara itu Desi disambut hangat di dalam keluarga suamiku, tak seperti aku yang dimusuhinya.

Malam ini aku tak bisa tidur. Bagaimana bisa, suamiku akan tidur dengan perempuan yang sangat aku cemburui. Aku tak tau apa yang mereka lakukan di dalam. Sepertiga malam, pada saat aku ingin sholat lail, aku keluar untuk berwudhu. Aku melihat ada lelaki yang mirip suamiku tidur di sofa ruang tengah. Kudekati lalu kulihat. MasyaAllah, suamiku tak tidur dengannya. Ia tidur di sofa.

Aku duduk di sofa itu sambil mengelus wajahnya yang lelah. Tiba–tiba ia memegang tangan kiriku, tentu saja aku kaget. “Kamu datang ke sini, aku pun tau”, ia langsung berkata seperti itu. Aku tersenyum dan mengajaknya sholat lail. Setelah sholat lail, ia berkata, “Maafkan aku, aku tak boleh menyakitimu. Kamu menderita karena egonya aku. Besok kita pulang ke Jakarta, biar Desi pulang dengan mama, papa, dan juga adik–adikku.”

Aku menatapnya dengan penuh keheranan. Tapi ia langsung mengajakku untuk istirahat. Saat tidur ia memelukku sangat erat. Aku tersenyum saja, sudah lama ini tidak terjadi. Ya Allah, apakah Engkau akan menyuruh malaikat maut untuk mengambil nyawaku sekarang ini, aku telah merasakan kehadirannya saat ini. Tapi masih bisakah Engku ijinkan aku untuk merasakan kehangatan dari suamiku yang telah hilang selama dua tahun ini?

Suamiku berbisik, “Bunda kok kurus?”

Aku menangis dalam kebisuan. Pelukannya masih bisa kurasakan.

Aku pun berkata, “Ayah kenapa tidak tidur dengan Desi?”

”Aku kangen sama kamu Bunda. Aku tak mau menyakitimu lagi, kamu sudah terluka oleh sikapku yang egois.” Dengan lembut suamiku menjawab seperti itu.

Lalu suamiku berkata, ”Bun, ayah minta maaf telah menelantarkan bunda. Selama ayah di Sabang, ayah dengar kalo bunda tidak tulus mencintai ayah. Bunda seperti mengejar sesuatu, seperti harta ayah. Dan satu lagi, ayah pernah melihat sms bunda dengan mantan pacar bunda yang isinya bunda gak mw berbuat seperti itu, dan seperti itu diberi tanda kutip. Ayah ingin ngomong tapi takut bunda tersinggung. Dan ayah berpikir kalau bunda pernah tidur dengannya sebelum bunda bertemu ayah. Terus ayah dimarahi oleh keluarga ayah karena ayah terlalu memanjakan bunda.”

Hati ini sakit ketika difitnah oleh suamiku, ketika tidak ada kepercayaan di dirinya. Hanya karena omongan keluarganya, yang tidak pernah melihat betapa tulusnya aku mencintai pasangan seumur hidupku ini.

Aku hanya menjawab, “Aku sudah ceritakan itu kan Yah. Aku tidak pernah berzinah, dan aku mencintaimu setulus hatiku. Jika aku hanya mengejar hartamu, mengapa kamu. Banyak lelaki yang lebih mapan darimu waktu itu, Yah. Jika aku hanya mengejar hartamu, aku tak mungkin setiap hari menangis karena menderita mencintaimu."

Entah aku harus bahagia atau aku harus sedih karena sahabatku sendirian di kamar pengantin itu. Malam itu, aku menyelesaikan masalahku dengan suamiku dan berusaha memaafkannya beserta sikap keluaraganya juga. Karna aku tak mau mati dalam hati yang penuh dengan rasa benci.

***

Keesokan harinya, katika aku ingin bangun untuk mengambil wudhu, kepalaku pusing. Rahimku sakit sekali. Aku pendarahan. Suamiku kaget. Suamiku kaget bukan main. Ia langsung menggendongku. Aku pun dilarikan ke rumah sakit.

Jauh sekali aku mendengar suara zikir suamiku. Aku merasakan tanganku basah. Ketika kubuka mata ini, kulihat wajah suamiku penuh dengan rasa khawatir. Ia menggenggam tanganku dengan erat dan berkata, ”Bunda, ayah minta maaf.” Berapa kali ia mengucapkan hal itu. Dalam hati ku, apa ia tahu apa yang terjadi padaku?

Aku berkata dengan suara yang lirih, ”Yah, bunda ingin pulang. Bunda ingin bertemu kedua orangtua bunda. Anterin bunda kesana ya Yah. Ayah jangan berubah lagi ya! Janji ya Yah! Bunda sayang banget sama Ayah.”

Tiba–tiba saja kakiku sakit. Sangat sakit. Sakitnya semakin ke atas. Kakiku sudah tak bisa bergerak lagi. Aku tak kuat lagi memegang tangan suamiku. Kulihat wajahnya yang tampan, linangan air matanya. Sebelum mata ini tertutup, kulafazkan kalimat syahadat dan ditutup dengan kalimat tahlil.

Aku bahagia melihat suamiku punya pengganti diriku. Aku bahagia selalu melayaninya dalam suka dan duka. Menemaninya ketika ia mengalami kesulitan dari kami pacaran sampai kami menikah. Aku bahagia bersuamikan dia. Dia adalah nafasku.
Untuk Ibu mertuaku, “Maafkan aku telah hadir di dalam kehidupan anakmu sampai aku hidup di dalam hati anakmu. Ketahuilah Ma, dari dulu aku selalu berdo’a agar Mama merestui hubungan kami. Mengapa engkau fitnah diriku di depan suamiku? Apa engkau punya buktinya, Ma? Mengapa engkau sangat cemburu padaku, Ma? Fikri tetap milikmu, Ma. Aku tak pernah menyuruhnya untuk durhaka kepadamu. Dari dulu aku selalu mengerti apa yang kau inginkan dari anakmu, tapi mengapa kau benci diriku? Dengan Desi kau sangat baik, tetapi denganku, menantumu, kau bersikap sebaliknya.”

***

Setelah kubuka laptop, kubaca curhatan istriku.

Ayah, mengapa keluargamu sangat membenciku?
Aku dihina oleh mereka, ayah.
Mengapa mereka bisa baik terhadapku pada saat ada dirimu?
Pernah suatu ketika aku bertemu Dian di jalan. Aku menyapanya karena dia adik iparku, tapi aku disambut dengan wajah ketidaksukaannya. Sangat terlihat, Ayah. Tapi ketika engkau bersamaku, Dian sangat baik, sangat manis, dan ia memanggilku dengan panggilan yang sangat menghormatiku. Mengapa seperti itu, Ayah? Aku tak bisa berbicara tentang ini padamu karena aku tahu kau pasti membela adikmu. Tak ada gunanya, Yah.
Aku diusir dari rumah sakit. Aku tak boleh merawat suamiku. Aku cemburu pada Desi yang sangat akrab dengan mertuaku. Tiap hari ia datang ke rumah sakit bersama mertuaku. Aku sangat marah. Jika aku membicarakn hal ini pada suamiku, ia pasti akan membela Desi dan ibunya. Aku tak mau sakit hati lagi.
Ya Allah, kuatkan aku. Maafkan aku. Engkau Maha Adil. Berilah keadilan ini padaku, Ya Allah.
Ayah sudah berubah. Ayah sudah tak sayang lagi padaku. Aku berusaha untuk mandiri, ayah. Aku tak akan bermanja–manja lagi padamu. Aku kuat, ayah, dalam kesakitan ini. Lihatlah, ayah, aku kuat walaupun penyakit kanker ini terus menyerangku. Aku bisa melakukan ini semua sendiri, ayah. Besok suamiku akan menikah dengan perempuan itu. Perempuan yang aku benci, yang aku cemburui. Tapi aku tak boleh egois. Ini untuk kebahagian keluarga suamiku. Aku harus sadar diri, Ayah. Sebenarnya aku tak mau diduakan olehmu. Mengapa harus Desi yang menjadi sahabatku? Ayah, aku masih tak rela. Tapi aku harus ikhlas menerimanya.
Pagi nanti suamiku melangsungkan pernikahan keduanya. Semoga saja aku masih punya waktu untuk melihatnya tersenyum untukku. Aku ingin sekali merasakan kasih sayangnya yang terakhir sebelum ajal ini menjemputku.
Ayah, aku kangen ayah...

Dan kini aku telah membawamu ke orang tuamu, Bun. Aku akan mengunjungimu sebulan sekali bersama Desi ke pulau kayu ini. Aku akan selalu membawakanmu bunga mawar yang berwana pink yang mencerminkan keceriaan hatimu yang sakit tertusuk duri. Bunda tetap cantik, selalu tersenyum disaat tidur. Bunda akan selalu hidup dihati ayah.

Bunda, Desi tak sepertimu yang tidak pernah marah. Desi sangat berbeda denganmu. Ia tak pernah membersihkan telingaku, rambutku tak pernah di creambathnya, kakiku pun tak pernah dicucinya. Ayah menyesal telah menelantarkanmu selama dua tahun. Kamu sakit pun aku tak peduli, dalam kesendirianmu. Seandainya Ayah tak menelantarkan Bunda, mungkin ayah masih bisa tidur dengan belaian tangan Bunda yang halus. Sekarang Ayah sadar bahwa ayah sangat membutuhkan bunda.

Bunda, kamu wanita yang paling tegar yang pernah kutemui. Aku menyesal telah asik dalam keegoanku. Bunda maafkan aku. Bunda tidur tetap manis. Senyum manjamu terlihat di tidurmu yang panjang. Maafkan aku tak bisa bersikap adil dan membahagiakanmu. Aku selalu mengiyakan apa kata ibuku karena aku takut menjadi anak durhaka. Maafkan aku ketika kau di fitnah oleh keluargaku, aku percaya begitu saja.

Apakah Bunda akan mendapat pengganti ayah di surga sana? Apakah Bunda tetap menanti ayah disana? Tetap setia di alam sana?
Tunggulah Ayah disana Bunda..
Bisa 'kan?
Seperti Bunda menunggu ayah di sini.
Aku mohon...
Ayah Sayang Bunda...

***


Kamis, 10 November 2011

Tentang Maaf

Fitri..
Putih..
Suci..
Bersih..

Namun, apakah ’rasa’ yang tertanam dalam hati bisa fitri seketika
hanya dengan secuil kata maaf
yang mungkin buat sebagian orang tidak memerlukan keikhlasan dalam mengucapkannya??
Buat apa minta maaf kalau tidak dari hati??
Buat apa bermaafan kalau tidak disertai dengan keikhlasan??

Hh.!
Sepertinya bermaafan saat hari raya bukanlah lagi sesuatu yang sakral
yang memerlukan keikhlasan..
Tetapi sudah menjadi budaya mengucapkan maaf yang alakadarnya,
sekenanya,
atau bahkan hanya sebagai syarat agar diterima saat bertamu..
Tidak peduli luka itu masih menganga atau tidak,
tidak peduli sakit itu masih terasa atau tidak..

Hh.!

Ada banyak pertanyaan membenak di hati..
Apakah harus selalu yang usianya lebih muda yang meminta maaf terlebih dahulu
meski kesalahan berasal dari yang lebih tua??
Kalau memang harus begitu,
sampai kapan si muda harus terus menerus mengalah??
Lantas, kapan si tua sadar diri??
Kapan si tua menyadari kesalahannya??

Ya, begitulah kebiasaan yang sudah membudaya di Indonesia..
Yang tua selalu menganggap dirinyalah yang selalu benar,
dirinyalah yang paling benar..
Sedangkan si muda selalu dianggap salah,
tidak boleh menentang si tua..
Padahal, kenyataannya si mudalah yang benar..
Hh..!!!

Young people can’t explain what they think in every moment..
Young people can’t explore what they want anywhere..
There’s always block from older people..
There’s no chance to young people to lay open their opinion n desire..
Hhhhhhhhhhh.....!!!!!!



13 October 2007
-tengah hari yang diselimuti awan mendung-

Si Tua (part 2)

Pagi ini,
saat raga terjaga dari tidur lelap
karena suara erangan besi tua yang beradu,
Mata itu seolah ingin menerkam dan mencabikku,,
Tubuh tua renta itu kemudian memburuku,
Lalu nyaris saja tangan yang dipenuhi gejolak amarah tersebut mendarat
dan bersandar di wajahku,,
Lagi-lagi derai air mata terus bercucuran,,,


26 Juli 2007
-saat matahari mulai meninggi-

Si Tua

Tubuh tua renta itu kini mulai bangkit,
Membangkang dan mengamuk layaknya singa yang tengah kelaparan,,
Bertindak dan bertingkah bak pasien rumah sakit jiwa dalam bangsal berterali besi,,

Hh,,,!!
Aku tak pernah bermimpi memiliki seorang tua renta yang nyaris melakukan kekerasan padaku,,
Tak pernah terbayangkan hal ini akan menimpa diriku dalam ketidakberdayaan,,

Benda tumpul itu hampir saja menghantam tubuh bahkan kepalaku,,
Tak lama kemudian ragaku mengejang,
melemas,
lalu terjatuh,,
Isak tangis tak terbendung lagi,,


25 Juli 2007
-dimulainya malam-

Sabtu, 05 November 2011

it is you... *)

*) oleh : Tria Ayu Pawestri Kusumadewi
9 November 2009



saya tidak sengaja membaca sebuah blog kira-kira spt ini...

jangan harap dikasihani oleh jakarta...
itu kesan yang saya dapatkan setelah dua kali menyebrang jalan dan nyaris ditabrak. yah, maaf… tapi saya sedikit mengharapkan perlakuan istimewa dari pengandara motor dan mobil terhadap saya sebagai ibu hamil. apa yang saya harapkan? memperlambat laju kendaraannya sebentar saja. saya tidak mengharapkan mereka untuk berhenti. memperlambat saja sudah cukup kok. karena meski hamil juga saya berusaha untuk berlari kecil agar dapat menyebrang jalan dengan cepat.

saat menyebrang jalan metro pondok indah, kendaraan melambat dan saya dengan persiapan meletakkan tangan di perut… jadi dia tahu kalau saya sedang hamil. ternyata… tetap saja, saat saya menyebrang ada motor yang melaju kencang seperti mau menabrak saya. hiks.

ya. jangan harap dikasihani jakarta.


dari situ saya berpikir, jangan harap juga untuk dikasihani oleh cinta..saya yakin sebagian besar dari qta mengalaminya...me too..

mungkin kamu sedang jatuh cinta pada dia.
so. deep. in. love.
you never felt like this before.
and deep inside, you feel that… he’s the one.

but in reality… he always hurts you…
sometimes he’s nice and he treats you like a lady.
sometimes he told you that he’s in love with you but after 5 minutes he said it was a mistake to be in love with you.
tidak membalas sms atau sepuluh miss call yang ada di layar.
kadang-kadang dia sering melontarkan kata-kata yang hanya bisa kamu dapatkan ketika kamu menonton jerry springer show.
bahkan…
kadang-kadang dia memukul dan menampar kamu ketika sedang kesal.

then you cry…

kamu berpikir,
kenapa dia tidak kasihan dengan kamu yang sudah mencintai dia setulus hati.
kenapa dia tidak berpikir untuk membahagiakan kamu sedetik saja.

hey!

cepat singkirkan semua pikiran itu dan berhenti untuk berharap dikasihani dia dan berhenti untuk mengasihani diri sekarang juga.

you control your own destiny!
you are the one who hold the remote control of your life.
he’s not the one who is responsible for your own happiness.
it is you who is responsible for your own happiness.

if you want to be happy… take control of yourself!



untuk setiap orang yang berjuang menemukan independensinya...

Indigo

A. Definisi

Kata indigo diambil dari nama warna yaitu indigo, yang dikenal sebagai warna biru sampai violet. Anak-anak yang mendapat julukan tersebut diketahui memiliki indera keenam. Indera yang dimaksud adalah intuisi, semua orang sebetulnya memiliki intuisi tetapi khusus anak indigo mempunyai intuisi yang luar biasa tajam di atas kemampuan orang kebanyakan.

Dalam istilah ilmu jiwa tidak ada kata normal, yang ada adalah optimal, yakni nilai yang dipakai di atas rata-rata orang umum, di atas rata-rata tergolong luar biasa di bidang masing-masing. Misalnya anak yang tergolong jenius, luar biasa dalam perkembangan nalarnya yang berkaitan dengan IQ. Sedangkan, anak indigo luar biasa dalam intuisi dan kepekaan batinnya yang berkaitan dengan SQ (spiritual quotient) dan EQ (emotional quotient). Bisa disimpulkan bahwa anak indigo adalah anak normal yang memiliki karakter khusus, dan luar biasa dalam bidang SQ, EQ, maupun IQ. Anak indigo yang berada dalam keadaan sehat secara lahir batin memiliki tingkat kecerdasan universalitas yang kuat, yakni gabungan antara SQ, EQ, dan IQ.

Anak indigo adalah anak-anak yang memiliki aura dominan berwarna nila, namun fisiknya sama seperti anak lainnya. Di samping itu anak indigo memiliki roh yang sudah tua (old soul) sehingga dalam keseharian, tidak jarang memperlihatkan sifat orang yang sudah dewasa atau tua. Anak-anak ini memiliki kesadaran yang lebih tinggi daripada kebanyakan orang, mengenai siapa diri mereka dan tujuan hidup mereka. Seringkali anak indigo tidak mau diperlakukan seperti anak kecil dan tak mau mengikuti tata cara maupun prosedur yang ada.

Dalam kehidupan sehari-hari, anak-anak indigo tak mau dianggap sebagai anak kecil. Mereka ingin memilih segala sesuatunya sendiri. Peran orang tua dalam hal ini sangat penting, untuk sekedar mengarahkan si anak agar tetap mempunyai rasa hormat pada orang yang lebih tua.

Anak-anak cerdas ini juga diyakini mempunyai kepekaan spiritual yang tinggi, walaupun dalam kehidupan sehari-hari mereka bersifat sok tua, sok pintar, dan sok dewasa. Kenyataannya, anak-anak indigo memang mampu menguasai sesuatu hal hingga sedetail-detailnya mengenai apa yang ia minati.

Satu hal yang penting dan perlu digaris bawahi, yaitu tidak jarang anak indigo salah diidentifikasi. Mereka sering dianggap sebagai anak LD (Learning Disability) ataupun anak ADD/HD (Attentian Deficit Disorder/Hyperactivity Disorder). Perbedaannya adalah ketidakajegan munculnya perilaku yang dikeluhkan. Misalnya pada anak indigo, mereka menunjukkan keunggulan pemahaman terhadap aturan-aturan sosial dan penalaran abstrak, tapi tak tampak dalam kesehariannya, baik di sekolah maupun di rumah.

Dalam literatur kesehatan seperti yoga, prana, autohipnotis, meditasi dan sebagainya dikenal bahwa manusia selain mempunyai fisik yang bisa dilihat dan diraba juga mempunyai tubuh halus (bioplasmik) yang hanya bisa dilihat oleh orang-orang yang berbakat kewaskitaan, yaitu orang yang extra sensory perception (ESP)-nya berkembang dengan baik karena tubuh halus itu berbentuk energi sinar berada di bawah empat oktaf dari kemampuan mata kasat melihat. Mata kasat sendiri hanya mampu melihat warna pelangi, yaitu dari ungu sampai merah. Sedangkan badan halus itu berada di bawah warna merah termasuk far infra red ray (FIR) dengan panjang gelombang sekitar 12-6 mikron, frekuensi 60-120 Hz, dan orang awam mengenalnya dengan sebutan aura.

Aura berasal dari bahasa Yunani yang berarti energi yang riang gembira, atau disebut juga badan bioplasmik mengandung energi sinar (elektromagnetik) yang disebut Biogetic Ray, Prana, Chi atau tenaga dalam. Sinar elektromagnetik yang memancar dari tubuh seseorang berbentuk elips mengelilingi tubuh fisik, kualitas warna dan kepadatannya mengindikasikan kesehatan dan karakter seseorang. Untuk mengetahui apa warna sinar elektromagnetik yang dikenal sebagai aura, kini orang tidak perlu menunggu sampai mempunyai kemampuan ESP yang dikenal juga dengan istilah "mata ketiga". Di Jakarta sudah ada mesin foto aura generasi akhir yang disebut Aura Video Station. Di situ kita bisa melihat secara langsung di layar monitor energi sinar elektromagnetik atau aura itu bergerak membentuk selubung dari tubuh fisik sesuai dengan tingkatan kesehatan dan emosi seseorang yang diproyeksikan dengan warna. Warna anak indigo sementara ini berdasarkan fakta yang terkumpul umumnya berwarna biru sampai violet sebagai dominasi dari aktifnya cakra keenam, yang juga disebut cakra "mata ketiga".

Jadi, yang dinamakan aura adalah pancaran gelombang elektromagnetik yang melingkupi seluruh tubuh. Gelombang tersebut muncul karena tubuh kita mempunyai banyak zat yang bermuatan listrik terutama pada aliran darah dan otak. Aura bersifat permanen.

Dalam bukunya Understanding Your Life Through Color, Nancy Tappe (1982) membuat klasifikasi manusia berdasarkan warna energi atau cakra. Cakra adalah pintu-pintu khusus dalam tubuh manusia untuk keluar masuknya energi. Dalam tubuh manusia, terdapat tujuh macam cakra, yaitu:

1. Cakra dasar warna energi merah. Bertanggungjawab untuk kesehatan tulang dan otot di tubuh fisik dan memberi energi pada semangat hidup seseorang. Cakra ini terletak pada tulang ekor.

2. Cakra kedua, yaitu cakra pelvis dengan warna energi oranye yang terletak di pelvis. Bertanggung jawab untuk kesehatan organ-organ reproduksi dan memberi energi pada kemampuan berinteraksi dengan sesama.

3. Cakra ketiga, yaitu cakra pusar dengan warna energi kuning yang terletak di pusar. Bertanggung jawab untuk kesehatan organ-organ reproduksi dan memberi energi pada ambisi seseorang baik positif maupun negatif.

4. Cakra keempat, yaitu cakra jantung dengan warna energi hijau. Bertanggungjawab pada semua organ yang berada dalam rongga dada dan memberi energi pada perasaan seseorang.

5. Cakra kelima, yaitu cakra tenggorokan dengan warna energi biru. Bertanggung jawab pada organ dalam rongga leher termasuk telinga, hidung dan tenggorokan (THT) dan memberi energi pada kemampuan seseorang dalam berinteraksi dan berkomunikasi, juga berkreativitas halus seperti melukis, dan menulis.

6. Cakra keenam, yaitu cakra Ajna yang merupakan warna energi indigo yang disebut juga nilai yang bertanggungjawab pada seluruh organ dalam rongga kepala termasuk panca indera dan memberi energi pada kepekaan intuisi dan ketajaman perasaan (feeling) untuk hal-hal abstrak seperti berpikir cepat.

7. Cakra ketujuh, yaitu cakra mahkota dengan warna energi violet. Bertanggung jawab pada semua organ di kepala khususnya otak dan memberi energi pada sikap seseorang berhubungan dengan keilahian.

Anak indigo memiliki keunggulan pada cakra Ajna (the third eyes) yang berkaitan dengan kelenjar hormon hipofisis dan epifisis di otak. Adanya mata ketiga ini membuat anak indigo disebut memiliki indra keenam. Mereka dianggap memiliki kemampuan menggambarkan masa lalu dan masa datang.

Gambar 1. Jasmani Halus (Bioplasmik) Aura dan Chakra



Terdapat perbedaan pandangan antara ahli yang satu dengan lainnya mengenai anak indigo. Perbedaan tersebut antar lain berasal dari Dr. Tb. Erwin Kusuma, SpKJ, psikiater anak dengan pendalaman di bidang kesehatan mental spiritual, mengemukakan the third eye itu berkaitan dengan hormon hipofisis (pituary body) dan hormon epifisis (pineal body) di otak. Lain halnya dengan Prof. Dr. dr. H. Soewardi, MPH, SpKJ. Spesialis penyakit jiwa di Rumah Sakit Sardjito, Yogyakarta, ini mewanti-wanti bahwa anak-anak indigo mesti disikapi secara hati-hati, terutama oleh lingkungan sosial dan keluarganya. Kejaiban anak indigo itu terjadi, menurut Soewardi, karena ada kesalahan dalam kinerja otaknya., yaitu di dalam sistem limbik otak, terutama neurotransmiternya terganggu.

Meskipun terdapat pandangan yang berbeda-beda mengenai anak indigo, menurut Lee Carroll & Jan trober (2000), anak indigo adalah anak laki-laki atau perempuan yang menunjukkan sekumpulan atribut psikologis yang baru dan tidak biasa, serta pada umumnya anak indigo memperlihatkan sebuah perilaku yang tidak terdokumentasi sebelumnya.

B. Karakteristik Subjek

Secara umum, fisik anak indigo sama dengan anak-anak lainnya, hanya saja pembawaannya terkesan tua, mampu bersikap bijaksana dan penuh pengertian, serta tidak ingin diperlakukan seperti anak kecil. Apabila diukur, kecerdasan anak indigo IQ mereka banyak yang sangat tinggi, setaraf, bahkan lebih dari IQ anak jenius. Berikut ini terdapat beberapa ciri anak indigo, antara lain:

1. Memiliki sensitivitas dan kemampuan spiritual yang tinggi.

Anak indigo kebanyakan bisa melihat sesuatu yang belum terjadi atau masa lalu. Bisa pula melihat makhluk atau materi-materi halus yang tidak tertangkap oleh indra penglihatan biasa. Kemampuan spiritual semacam itu masuk dalam wilayah ESP (extra-sensory perception) atau indera keenam. Kemampuan ESP bisa menjelajah ruang dan waktu. Menjelajah ruang dalam artian ketika tubuh anak indigo berada di suatu tempat, pada saat yang bersamaan ia tahu apa yang sedang terjadi di lokasi lain. Sedangkan ketika ia berbicara sekarang tentang peristiwa yang akan terjadi di masa yang akan datang, inilah yang disebut menjelajah waktu.

2. Memiliki energi berlebihan untuk mewujudkan rasa ingin tahunya yang berlebihan.

3. Mudah sekali bosan.

4. Menentang otoritas bila tidak berorientasi demokratis.

5. Memiliki gaya belajar tertentu.

6. Mudah frustasi karena banyak ide namun kurang sumber yang dapat membimbingnya.

7. Suka bereksplorasi.

8. Tidak dapat duduk diam kecuali pada objek yang menjadi minatnya.

9. Sangat mudah merasa jatuh kasihan pada orang lain.

10. Mudah menyerah dan terhambat belajar jika di awal kehidupannya mengalami kegagalan.

11. Mereka mempunyai bau keturunan raja sejak lahir, dan kerap memanifestasikannya.

12. Mereka memiliki rasa "ini adalah tempat saya semestinya", dan akan merasa sangat ganjl bila melihat orang lain tidak berpikir demikian.

13. "Harga diri" bukan soal, mereka kerap memberitahu orang tua tentang "siapa mereka".

14. Mereka tidak akan melakukan hal yang spesifik, misalnya berbaris berurutan adalah suatu hal yang sulit bagi mereka.

15. Terhadap hal yang kaku dan tidak memerlukan kreatifitas, ia merasa tidak terbiasa.

16. Baik di rumah atau sekolah, biasanya mereka dapat menemukan cara kerja yang lebih baik, sehingga mereka dianggap sebagai perusak tata tertib yang sudah berjalan.

17. Biasanya mereka introvert (menyembunyikan perasaan), merasa tidak ada orang didunia ini yang dapat memahami mereka.

18. Mereka tidak pernah pelit terhadap kebutuhan pribadi.

19.Kemampuan "mata batin" mereka secara umum sangat kuat, bisa langsung mengetahui permainan orang dewasa.

20. Mudah hanyut dalam kecanduan dan kebiasaan jelek lainnya.

21. Suka menyendiri

Begitu berada pada suatu situasi atau lingkungan baru, anak indigo akan mencermati keadaan sekelilingnya dengan sangat teliti. Kemampuan mereka mengenal suasana dan individu luar biasa. Meskipun terkadang mereka terlihat acuh tak acuh, sebenarnya di balik itu mereka paham tentang apa yang sedang terjadi.

Menurut Jan Tobler dalam pengantar buku The Care and Feeding of Indigo Children ada 10 ciri anak indigo, yaitu

1. Mereka datang ke dunia dengan rasa ingin berbagi.

2. Mereka menghayati hak keberadaannya di dunia ini dan heran bila ada yang menolaknya.

3. Dirinya bukanlah yang utama, seringkali menyampaikan ‘siapa jati dirinya’ pada orang tuanya.

4. Sulit menerima otoritas mutlak tanpa alasan.

5. Tidak mau atau sulit menunggu giliran.

6. Mereka kecewa bila menghadapi ritual dan hal-hal yang tidak memerlukan pemikiran yang kreatif.

7. Seringkali mereka menemukan cara-cara yang lebih tepat, baik di sekolah maupun di rumah, sehingga menimbulkan kesan “non konformistis” terhadap sistem yang berlaku.

8. Tampak seperti antisosial, terasing kecuali di lingkungannya. Sekolah seringkali menjadi amat sulit untuk mereka bersosialisasi.

9. Tidak berespons terhadap aturan-aturan kaku, misalnya “tunggu sampai ayahmu pulang”.

10. Tidak malu untuk meminta apa yang dibutuhkannya.

C. Faktor yang berpengaruh

Umumnya anak yang berbakat indigo sudah tampak sejak lahir, bahkan kenyataannya juga merupakan karunia turun temurun. Dengan kata lain, secara alami mereka memang punya karunia dan ketajaman intuisi yang berlainan satu dengan yang lainnya. Namun ada sebagian orang yang berubah menjadi indigo dan memiliki segala kelebihannya karena terbebas dari suatu penyakit berat atau kecelakaan parah yang biasanya secara medis sudah dinyatakan tidak ada harapan hidup lagi, tetapi dapat kembali sehat dan normal dan menjalani hidup seolah baru terbebas dari kematian dan mempunyai kemampuan intuisi tajam, bahkan bisa mempunyai keahlian khusus seperti jadi terapis/ pengobat dengan kemampuan khusus/tabib tanaman obat dan sebagainya.

Seorang anak indigo lebih peka dan lebih kritis dibandingkan dengan anak normal yang lain. Hal ini disebabkan karena sejak usia dini mereka sudah mampu menyerap nilai-nilai moral di luar dirinya. Nilai-nilai tersebut cenderung digabungkan dengan kepribadian bawaan yang akhirnya membentuk kehidupan anak tersebut.

D. Tipe Anak Indigo

Beberapa tipe anak indigo, yaitu:

1. Humanis

Tipe ini akan bekerja dengan orang banyak. Kecenderungan karir di masa datang adalah dokter, pengacara, guru, pengusaha, politikus atau pramuniaga. Perilaku menonjol saat ini hiperaktif, sehingga perhatiannya mudah tersebar. Mereka sangat sosial, ramah, dan memiliki pendapat kokoh.

2. Konseptual

Lebih enjoy bekerja sendiri dengan proyek-proyek yang ia ciptakan sendiri. Contoh karir adalah sebagai arsitek, perancang, pilot, astronot, prajurit militer. Perilaku menonjol suka mengontrol perilaku orang lain.

3. Artis

Tipe ini menyukai pekerjaan seni. Perilaku menonjol adalah sensitif, dan kreatif. Mereka mampu menunjukkan minat sekaligus dalam 5 atau 6 bidang seni, namun beranjak remaja minat terfokus hanya pada satu bidang saja yang dikuasai secara baik.

4. Interdimensional

Anak indigo tipe ini di masa datang akan jadi filsuf, pemuka agama. Dalam usia 1 atau 2 tahun, orangtua merasa tidak perlu mengajarkan apapun karena mereka sudah mengetahuinya.

Teori Segitiga Cinta (The Triangular Theory of Love) Sternberg

Teori ini menyatakan bahwa cinta memiliki tiga bentuk utama: gairah (passion), keintiman, dan komitmen, yang dijelaskan sebagai berikut (Dariyo, 2003).

a. Intimacy

Merupakan elemen afeksi yang mendorong individu untuk selalu melakukan kedekatan emosional dengan orang yang dicintainya. Dorongan ini menyebabkan individu bergaul lebih akrab, hangat, menghargai, menghormati dan mempercayai pasangan yang dicintai. Seseorang merasa intim dengan orang yang dicintai karena masing-masing individu merasa saling membutuhkan dan melengkapi antara satu dan yang lain dalam segala hal. Masing-masing merasa tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan dan kehadiran pasangan hidup di sisinya.

b. Passion

Merupakan elemen fisiologis yang menyebabkan seseorang merasa ingin dekat secara fisik, menikmati/merasakan sentuhan fisik, ataupun melakukan hubungan seksual dengan pasangan hidupnya. Adanya passion ini menyebabkan dinamika kehidupan cinta antara dua individu yang berbeda jenis kelamin karena merasa bergairah secara seksual terhadap pasangan hidupnya. Kebutuhan seksual merupakan salah satu unsur terpenting untuk mempertahankan kelangsungan keutuhan cinta. Namun, bila dicermati secara mendalam, passion meliputi sentuhan fisik, membelai rambut, berpegangan tangan, merangkul, memeluk, mencium, atau hubungan seksual.

c. Commitment

Merupakan dorongan kognitif yang mendorong individu tetap mempertahankan hubungan cinta dengan pasangan hidup yang dicintainya. Komitmen yang sejati ialah komitmen yang berasal dari dalam diri yang tidak akan pernah pudar/luntur walaupun menghadapi berbagai rintangan, godaan, ataupun ujian berat dalam perjalanan kehidupan cintanya. Adanya rintangan, godaan, atau hambatan justru akan menjadi pemicu bagi masing-masing individu untuk membuktikan ketulusan cinta terhadap pasangan hidupnya. Komitmen akan terlihat dengan adanya upaya-upaya tindakan cinta (love behavior) yang cenderung meningkatkan rasa percaya, rasa diterima, merasa berharga, dan merasa dicintai pasangan hidupnya. Dengan demikian, komitmen akan mempererat dan melanggengkan kehidupan cinta sampai akhir hayat. Kematianlah yang memisahkan hubungan cinta tersebut.


Berikut adalah skema Teori Segitiga Cinta (The Triangular Theory of Love) dari Sternberg


Berdasarkan pada teori segitiga cinta (triangular theory of love) yang dikemukakan oleh Sternberg, terdapat delapan jenis hubungan percintaan yang masing-masing jenisnya memiliki ciri-ciri yang berbeda (Dariyo, 2003). Jenis-jenis cinta tersebut yaitu:

a. Nonlove (tidak ada cinta)

Merupakan hubungan antarindividu yang berbeda jenis kelamin, tanpa disertai unsur intimasi, hawa nafsu biologis (passion) ataupun komitmen. Hubungan tersebut sangat dangkal, bahkan cenderung antarindividu tidak memiliki kepedulian ataupun perhatian yang mendalam. Hubungan jenis ini hampir sama dengan individu-individu yang tidak saling kenal sehingga tidak ada unsur yang mendorong keduanya untuk mempertahankan hubungan tersebut.

b. Liking (menyukai)

Dua individu yang berbeda jenis kelamin sama-sama merasa terdorong untuk saling memperhatikan satu sama lain. Hubungan mereka sangat akrab, yaitu ditandai keinginan mengungkapkan pengalaman, perasaan ataupun pemikirannya. Namun, keduanya tidak memiliki hasrat untuk melakukan hubungan seksual dan tidak ada ikatan untuk melanjutkan ke jenjang pernikahan. Hal ini lebih tepat diterapkan pada hubungan persahabatan (pertemanan).

c. Infatuation (infatuasi)

Terjadinya hubungan dua individu yang berbeda jenis kelamin yang hanya didasari unsur nafsu biologis (passion) semata. Dalam hubungan tersebut, tidak ada unsur keakraban (intimasi) ataupun komitmen untuk mempertahakan hubungannya. Setelah kebutuhan biologisnya terpenuhi, mereka tidak ada lagi hubungan pribadi. Hubungan ini ditemukan pada individu yang menyalurkan kebutuhan seksualnya di tempat pelacuran, diskotek, atau mereka yang melakukan pemerkosaan.

d. Empty love (cinta yang kosong)

Jenis cinta ini hanya didasarkan pada unsur komitmen, tetapi tidak ada unsur nafsu biologis (passion) ataupun intimasi. Masing-masing individu bertekad untuk mempertahankan hubungan tersebut, tetapi keduanya tidak ada kemauan untuk melakukan hubungan seksual ataupun menjalin komunikasi secara hangat, mesra, dan akrab. Jenis cinta ini dapat ditemukan pada mereka yang melakukan hubungan cinta, tetapi dibatasi jarak yang sangat jauh.

e. Romantic love (cinta romantis)

Merupakan dua individu yang berbeda jenis kelamin yang menjalin hubungan cinta didasarkan atas unsur keakraban (intimasi) dan nafsu seksual, tetapi tidak ada niat untuk meneruskan ke jenjang pernikahan. Keduanya tampak akrab dan kadang dalam keakraban tersebut disertai dengan perilaku seksual (pegangan tangan, pelukan, ciuman, bahkan hubungan seksual).

f. Companionate love (cinta persahabatan)

Hubungan antara dua individu berbeda jenis kelamin yang hanya didasarkan atas unsur intimasi saja, tetapi tidak disertai dengan keinginan menyalurkan hubungan seksual ataupun untuk meningkatkan ke jenjang pernikahan. Hubungan ini terjadi pada mereka yang telah menikah, kemudian salah seorang di antaranya menjalin relasi dengan individu lain.

g. Fateous love (cinta fateus)

Hubungan percintaan dari dua individu yang berbeda jenis kelamin, yang didasari unsur passion dan komitmen, tetapi tidak ada unsur intimasi. Dalam melakukan relasi tersebut, individu dapat melakukan perilaku seksual dan keduanya terdorong mempertahankan ikatan itu. Hal ini kemungkinan agar keduanya leluasa dapat menyalurkan kebutuhan seksual mereka. Namun, diantara kedua individu itu tidak menampakkan hubungan yang hangat, akrab, dan cenderung tidak mau memberi perhatian serius. Hubungan antarindividu tersebut dapat terjadi pada individu-individu yang belum menikah ataupun yang sudah menikah. Mereka yang menikah, karena dijodohkan kedua orangtua, bisa jadi memiliki cinta jenis ini.

h. Consummate love (cinta sejati)

Cinta jenis ini dapat terjadi jika ada ketiga unsur, yaitu nafsu biologis (passion), intimasi, dan komitmen. Dua individu yang sama-sama memiliki ketiga unsur ini umumnya dapat mempertahankan hubungan percintaan sampai langgeng. Mereka tidak akan mudah menyerah atau putus asa ketika harus menghadapi berbagai penderitaan, cobaan, godaan, ataupun rintangan. Dengan adanya penderitaan itu, justru makin memperkuat tekadnya untuk membuktikan rasa cinta kepada pasangan hidupnya. Masing-masing saling menunjukkan perilaku cinta (love behavior), artinya masing-masing individu berupaya untuk berbuat sesuatu guna menyenangkan, menggembirakan, ataupun membahagiakan pasangan hidupnya. Ketika salah seorang dalam keadaan sakit, menderita, atau mengalami kemalangan, yang satunya berusaha menghibur dan menguatkan hatinya agar tabah dalam menjalani kehidupan. Cinta jenis ini didasari nilai-nilai kejujuran, ketulusan, kesetiaan, kebersamaan, keharmonisan, tanggung jawab, kepercayaan, dan saling pengertian.

Secara singkat, jenis-jenis cinta yang telah dikemukakan tersebut di atas dapat dijelaskan melalui tabel di bawah ini.

Tabel 1. Pola cinta menurut Sternberg (dalam Dariyo, 2003)

Jenis Cinta

Unsur Cinta

Intimacy

Passion

Commitment

Nonlove

-

-

-

Liking

v

-

-

Infatuation

-

v

-

Empty Love

-

-

v

Romantic Love

v

v

-

Companionate Love

v

-

v

Fateous Love

-

v

v

Consummate Love

v

v

v