Rabu, 16 November 2011

Suamiku, Aku begitu mencintaimu.. *)

*Ketika sedang asik berselancar di dunia maya, saya tidak sengaja menemukan sebuah kisah inspiratif yang mengharukan tentang ketulusan cinta. Berikut kisahnya.*



Cinta itu butuh kesabaran. Namun, sampai dimanakah kita harus bersabar menanti cinta kita??

***

Hari itu aku dengannya berkomitmen untuk menjaga cinta kita. Aku menjadi perempuan yang paling bahagia. Pernikahan kami sederhana tapi sangat meriah. Ia menjadi pria yang sangat romantis pada saat itu. Menikah dengan seorang pria yang shaleh, pintar, tampan, dan mapan pula. Ketika kami pacaran ia sudah sukses dalam karirnya. Kami berbulan madu di tanah suci, itu janjinya ketika kami berpacaran. Setelah menikah aku mengajaknya umroh ke tanah suci. Aku sangat bahagia dengannya, ia sangat memanjakan aku. Sangat terlihat rasa cinta dan sayangnya padaku. Banyak orang yang bilang kami pasangan yang serasi. Sangat terlihat sekali bagaimana suamiku memanjakanku. Aku bahagia menikah dengannya.

***

Lima tahun sudah kami menikah, sangat tak terasa waktu berjalan, walaupun kami hanya berdua saja. Karena sampai saat ini aku belum bisa memberikannya seorang malaikat kecil di tengah keharmonisan rumah tangga kami. Karena dia anak lelaki satu–satunya dalam keluarganya, jadi aku harus berusaha untuk dapat meneruskan generasinya. Alhamdulillah suamiku mendukungku. Ia mengaggap Allah belum mempercayai kami untuk menjaga titipan-Nya. Tapi keluarganya mulai resah.

Dari awal kami menikah ibu dan adiknya tidak menyukaiku. Aku sering mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan dari mereka. Tapi aku menutupinya dari suamiku. Di depan suamiku mereka sangat baik padaku, tapi dibelakang suamiku aku dihina–hina oleh mereka.

Pernah suatu ketika, satu tahun usia pernikahan kami, suamiku mengalami kecelakaan. Mobilnya hancur. Alhamdulillah suamiku selamat dari maut yang hampir membuatku menjadi seorang janda. Ia dirawat dirumah sakit. Pada saat dia belum sadarkan diri, aku selalu menemaninya siang & malam, kubacakan ayat–ayat suci Al-Qur’an. Aku sibuk bolak–balik rumah sakit dan tempat aku melakukan aktivitas sosialku, aku sibuk mengurus suamiku yang sakit karena kecelakaan.

Ketika aku kembali ke rumah sakit setelah dari rumah kami, aku melihat didalam kamarnya ada ibu, adik–adiknya, dan teman-teman suamiku, dan satu lagi aku melilhat seorang wanita yg sangat akrab dengan ibunya. Mereka tertawa menghibur suamiku. Alhamdulillah suamiku ternyata sudah sadar. Aku menangis ketika melihat suamiku sudah sadar, tapi aku tak boleh sedih di depannya.

Kubuka pintu yang tertutup rapat itu sambil mengatakan “Assalammu’alaikum.” Mereka menjawab salamku. Aku berdiam sejenak di depan pintu dan mereka semua melihatku. Suamiku menatapku penuh manja, mungkin ia kangen padaku karena sudah lima hari matanya selalu tertutup. Tangannya melambai, mengisyaratkan aku untuk memegang tangannya yang erat. Setelah aku menghampirinya, kucium tangannya sambil berkata “Assalammu’alaikum”, ia pun menjawab salamku dengan suaranya yang lirih tapi penuh dengan cinta. Aku pun senyum melihat wajahnya.

Ibunya lalu berbicara sama aku, “Fis, kenalkan ini Desi teman Fikri.”

Aku teringat cerita dari suamiku bahwa teman baiknya pernah mencintainya, perempuan itu bernama Desi, dan dia sangat akrab dengan keluarga suamiku. Dan akhirnya aku bertemu dengan orangnya juga. Aku pun langsung berjabat tangan dengannya. Tak banyak aku biacara di dalam ruangan itu, aku tak mengerti apa yg mereka bicarakan. Aku sibuk membersihkan dan mengobati luka–luka di kepala suamiku. Baru sebentar aku membersihkan mukanya, tiba–tiba adik iparku yang bernama Dian mengajakku keluar, ia minta ditemani ke kantin. Dan suamiku pun mengijinkannya. Aku pun menemaninya.

Tapi ketika di luar adik iparku berkata, ”lebih baik kau pulang saja. Ada kami yg menjaga abang disini. Kau istirahat saja. ” Aku pun tak diperbolehkan berpamitan dengan suamiku dengan alasan abang harus banyak beristirahat karena kondisi psikologisnya masih labil. Aku berdebat dengannya mengapa aku tidak boleh pamitan pada suamiku, tapi tiba–tiba ibu mertuaku datang menghampiriku dan ia mengatakan hal yang sama, ia akan memberi alasan pada suamiku mengapa aku pulang tak pamitan padanya. Toh suamiku selalu menurut apa kata ibunya, baik ibunya salah suamiku tetap saja membenarkannya.

Akhirnya aku pun pergi meninggalkan rumah sakit itu dengan linangan air mata. Sejak saat itu aku tidak pernah diijinkan menjenguk suamiku sampai ia kembali dari rumah sakit. Dan aku hanya bisa menangis dalam kesendirianku. Menangis mengapa mereka sangat membenciku.

***

Hari itu, aku menangis tanpa sebab. Yang ada di benakku aku takut kehilangannya, aku takut cintanya dibagi dengan yang lain. Pagi itu, pada saat aku membersihakan pekarangan rumah kami, suamiku memanggilku ke taman belakang. Ia baru saja selesai sarapan. Ia mengajakku duduk di ayunan favorit kami, sambil melihat ikan-ikan yang bertaburan di kolam air mancur itu.

Aku bertanya, ”Ada apa kamu memanggilku?”

Ia berkata, ”Besok aku akan menjenguk keluargaku di Sabang.”

Aku menjawab, ”Ia sayang aku tahu, aku sudah mengemasi barang–barangmu di travel bag dan kamu sudah pegang tiket kan?”

“Ya, tapi aku tak akan lama disana, cuma 3 minggu aku disana. Aku juga sudah lama tidak bertemu dengan keluarga besarku sejak kita menikah. Dan aku akan pulang dengan mamaku”, jawabnya tegas.

“Mengapa baru bicara? Aku pikir hanya seminggu saja kamu disana”, tanyaku balik kepadanya penuh dengan rasa penasaran dan sedikit rasa kecewa karena ia baru memberitahu rencana kepulangannya itu, padahal aku bersusah payah mencarikan tiket pesawat untuknya.

”Mama minta aku yang menemaninya saat pulang nanti”, jawab nya tegas.

”Sekarang aku ingin seharian denganmu, karena nanti kita 3 minggu tidak bertemu, ya kan?” lanjutnya lagi sambil memelukku dan mencium keningku.

Hatiku sedih dengan keputusannya, tapi tak boleh aku tunjukkan padanya. Bahagianya aku dimanja dengan suami yang penuh dengan rasa sayang dan cinta. Walau terkadang ia bersikap kurang adil terhadapku. Aku hanya bisa tersenyum saja. Padahal aku ingin bersama suamiku, tapi karena keluarganya tidak menyukaiku hanya karena mereka cemburu padaku karena suamiku sangat sayang padaku, aku memutuskan agar ia saja yang pergi, dan kami juga harus berhemat dalam pengeluaran anggaran rumah tangga kami.

Karena ini acara sakral bagi keluarganya. Jadi seluruh keluarganya harus komplit, aku pun tak diperdulikan oleh keluarganya harus datang atau tidak, tidak hadir justru membuat mereka sangat senang. Aku pun tak mau membuat riuh keluarga ini.

Malam sebelum kepergiannya, aku menangis sambil membereskan keperluannya yang akan dibawa ke Sabang. Ia menatapku dan menghapus air mata yang jatuh dipipiku. Lalu aku peluk erat dirinya. Hati ini bergumam seakan terjadi sesuatu, tapi aku tidak tahu apa yang akan terjadi. Aku hanya bisa menangis karena akan ditinggal pergi olehnya. Aku tidak pernah ditinggal pergi selama ini karena kami selalu bersama–sama kemana pun ia pergi. Apa mungkin aku sedih karena aku sendirian tidak punya teman, hanya pembantu saja teman ngobrolku.

Hati ini sedih akan ditinggal pergi olehnya. Sampai keesokan harinya, aku menangis. Menangisi kepergiannya. Aku tak tahu mengapa sesedih ini, perasaanku tak enak, tapi aku tak boleh berburuk sangka. Aku harus percaya pada suamiku. Dia pasti akan selalu menelponku.

***

Berjauhan dengan suamiku sangat tidak nyaman, aku merasa sendiri. Untunglah aku mempunyai kesibukan sebagai seorang aktivis, jadi aku tak terlalu kesepian ditinggal pergi ke Sabang.

Saat kami berhubungan jarak jauh, komunikasi kami buruk. Saat ia di sana aku pun jatuh sakit. Rahimku sakit sekali seperti dililit oleh tali. Tak tahan aku menahan rasa sakit dirahimku ini, sampai–sampai aku mengalami pendarahan. Aku dilarikan ke rumah sakit oleh adik laki-lakiku yang kebetulan menemaniku di sana. Dokter memvonis aku terkena kanker mulut rahim stadium 3. Aku menangis. Apa yang bisa aku banggakan lagi. Mertuaku akan semakin menghinaku. Suamiku yang malang, yang berharap akan punya keturunan dari rahimku. Aku tak bisa memberikannya keturunan. Dan aku hanya memeluk adikku.

Aku kangen pada suamiku, aku menunggu ia pulang. Kapan ia pulang, aku tak tahu.

Sementara suamiku disana, aku tidak tahu mengapa ia selalu marah-marah jika menelponku. Bagaimana aku akan cerita kondisiku jika ia selalu marah–marah terhadapku. Lebih baik aku tutupi dulu. Aku juga tak mau membuatnya khawatir selama ia berada di Sabang. Lebih baik nanti saja ketika ia sudah pulang dari Sabang, aku akan cerita padanya. Setiap hari aku menanti suamiku pulang, hari demi hari aku hitung. Sudah 3 minggu suamiku di Sabang.

Malam itu ketika aku sedang melihat foto–foto kami, ponselku berbunyi, menandakan ada sms yang masuk. Kubuka di inbox ponselku, ternyata dari suamiku yang sms. Ia menulis “Aku sudah beli tiket untuk pulang. Aku pulangnya satu hari lagi. Nanti aku kabarin lagi.” Hanya itu saja yang diinfokannya. Aku ingin marah, tapi aku pendam saja ego yang tidak baik ini.

Hari yg aku tunggu pun tiba. Aku menantinya di rumah. Sebagai seorang istri, aku pun berdandan yang cantik dan memakai parfum kesukaannya untuk menyambut suamiku pulang. Dan aku akan menyelesaikan masalah komunikasi kami yg buruk akhir-akhir ini.

Bel pun berbunyi. Kubukakan pintu untuknya. Ia pun mengucap salam. Sebelum masuk, aku pegang tangannya ke depan teras. Ia tetap berdiri, aku membungkuk untuk melepaskan sepatu, kaos kaki, dan kucuci kedua kakinya. Aku tak mau ada syaithan yang masuk ke dalam rumah kami. Setelah itu aku pun berdiri langsung mencium tangannya. Tapi apa reaksinya. MasyaAllah, ia tidak mencium keningku. Ia langsung naik ke atas. Ia langsung mandi dan tidur, tanpa bertanya kabarku. Aku hanya berpikiran mungkin dia capek. Aku pun segera merapikan bawaannya sampai aku pun tertidur.

Malam menunjukkan sepertiga malam, mengingatkan aku pada tempat mengadu yaitu Allah, Sang Maha Pencipta. Biasanya kami selalu berjama’ah. Tapi karena melihatnya tidur sangat pulas, aku tak tega membangunkannya. Aku elus mukanya, aku cium keningnya, lalu aku sholat tahajud 8 raka'at plus witir 3 raka'at.

***

Aku mendengar suara mobilnya. Aku terbangun, lalu aku lihat ia dari balkon kamar kami. Ia bersiap-siap untuk pergi. Aku memanggilnya, tapi ia tak mendengar. Lalu aku langsung ambil jilbabku, aku lari dari atas ke bawah tanpa mempedulikan darah yang bercecer dari rahimku. Aku mengejarnya tapi ia begitu cepat pergi. Ada apa dengan suamiku? Mengapa ia sangat aneh terhadapku?

Aku tidak bisa diam begitu saja, firasatku mengatakan ada sesuatu. Saat itu juga aku langsung menelpon ke rumah mertuaku, kebetulan Dian yang angkat telponnya. Aku bercerita dan aku bertanya apa yang terjadi dengan suamiku. Dengan enteng ia menjawab, “Loe pikir aja sendiri!!” Telpon pun langsung terputus.

Ada apa ini? Tanya hatiku penuh dalam kecemasan. Mengapa suamiku berubah setelah ia pulang dari kota kelahirannya? Mengapa ia tak mau berbicara padaku, apalagi memanjakanku? Semakin hari ia menjadi orang yang pendiam, seakan ia telah melepas tanggung jawabnya sebagai seorang suami. Kami berbicara seperlunya saja. Aku selalu diintrogasinya. Aku dari mana dan mengapa pulang terlambat, ia bertanya dengan nada yg keras. Suamiku telah berubah. Bahkan yang membuatku kaget, aku pernah dituduhnya berzina dengan mantan pacarku. Ingin rasanya aku menampar suamiku yang telah menuduhku serendah itu. Tapi aku selalu ingat, bagaimanapun salahnya seorang suami, status suami tetap di atas para istri. Itu yang aku pegang. Aku hanya berdo’a agar suamiku sadar akan perilakunya.

***

Dua tahun berlalu, suamiku tak berubah juga. Aku menangis tiap malam. Lelah menanti seperti ini. Kami seperti orang asing yang baru saja kenal. Kemesraan yang kami ciptakan dulu telah sirna, walaupun kondisinya tetap seperti itu. Aku tetap merawatnya dan menyiapi segala yang ia perlukan. Penyakitku pun masih aku simpan dengan baik dan ia tak pernah bertanya obat apa yang aku minum. Kebahagiaanku telah sirna. Harapan menjadi ibu pun telah aku pendam. Aku tak tahu kapan ini semua akan berakhir. Bersyukurlah, aku punya penghasilan sendiri dari aktifitasku sebagai seorang guru ngaji. Jadi aku tak perlu repot–repot meminta uang padanya hanya untuk pengobatan kankerku. Aku pun hanya berobat semampuku. Sungguh suami yang dulu aku puja, aku banggakan, sekarang telah menjadi orang asing. Setiap aku tanya ia selalu meyuruhku untuk berpikir sendiri.

Tiba–tiba saja malam itu setelah makan malam selesai suamiku memanggilku.

“Ya, ada apa Yah?” sahutku dengan memanggil nama kesayangannya: Ayah.

“Lusa kita siap–siap ke Sabang ya!” jawabnya tegas.

”Ada apa? Mengapa?” sahutku penuh dengan keheranan.

Astaghfirullah... Suamiku yang dulu lembut menjadi kasar. Ia mebentakku. Tak ada lagi diskusi antara kami.

Ia berkata, ”Kau ikut saja, jangan banyak tanya!!!”

Aku pun mengemasi barang–barang yang akan dibawa ke Sabang sambil menangis, sedih karena suamiku yang tak kukenal lagi. Dua tahun pacaran, lima tahun kami menikah, dan sudah dua tahun pula ia menjadi orang asing buatku. Kulihat kamar kami yang dulu hangat penuh cinta yang dihiasi foto pernikahan kami sekarang menjadi dingin, sangat dingin dari batu es. Aku menangis dengan kebingungan ini. Ingin rasanya aku berontak tapi aku tak bisa. Suamiku tak suka dengan wanita yang kasar, ngomong dengan nada tinggi, suka membanting barang-barang. Ia bilang perbuatan itu menunjukkan ketidakhormatan kepadanya. Aku hanya bisa bersabar menantinya bicara dan sabar mengobati penyakitku ini sendiri.

***

Kami telah sampai di Sabang. Aku masih merasa lelah karena semalaman aku tidak tidur, karena terus berpikir. Keluarga besarnya telah berkumpul di sana, termasuk ibu dan adik-adiknya. Aku tidak tahu ada acara apa ini.

Aku dan suamiku pun masuk ke kamar kami. Suamiku tak betah didalam kamar tua itu, ia pun keluar bergabung dengan keluarga besarnya. Baru saja aku membongkar koper kami dan ingin memasukkannya ke dalam lemari tua yang berada di dekat pintu kamar, lemari tua itu telah ada sebelum suamiku lahir, tiba-tiba Tante Lia, tante yang sangat baik padaku, memanggilku untuk segera berkumpul di ruang tengah. Aku pun ke ruang keluarga yang berada di tengah rumah besar itu, rumah jaman peninggalan Belanda dimana langit-langitnya lebih dari 4 meter.

Aku duduk disamping suamiku. Suamiku menunduk penuh dengan kebisuan, aku tak berani bertanya padanya. Tiba–tiba saja neneknya, orang yang dianggap paling tua dan paling berhak atas semuanya, membuka pembicaraan.

“Baiklah, karena kalian telah berkumpul, nenek ingin bicara dengan kau Fisha!” Neneknya bicara sangat tegas dengan sorot mata yang tajam.

”Ada apa ya, Nek?” sahutku dengan penuh tanya.

Nenek pun menjawab, ”Kau telah gabung dengan keluarga kami hampir delapan tahun. Sampai saat ini kami tak melihat tanda–tanda kehamilan yang sempurna, sebab selama ini kau selalu keguguran!!"

Aku menangis. Untuk inikah aku diundang kemari? Untuk dihina atau dipisahkan dengan suamiku.

“Sebenarnya kami sudah punya calon untuk Fikri, dari dulu, sebelum kau menikah dengannya. Tapi Fikri anak yang keras kepala, tak mau di atur, dan akhirnya menikahlah ia dengan kau.” Neneknya berbicara sangat lantang, mungkin logat orang Sabang seperti itu semua.

Aku hanya bisa tersenyum dan melihat wajah suamiku yang kosong matanya.

“Dan aku dengar dari ibu mertuamu kau pun sudah berkenalan dengannya.”

Neneknya masih melanjutkan pembicaraan itu. Sedangkan suamiku hanya diam saja, tapi aku lihat air matanya. Ingin kupeluk suamiku agar ia kuat dengan semua ini, tapi aku tak punya keberanian. Neneknya masih saja berbicara panjang lebar dan yang terakhir dari pembicaraannya ialah dengan wajah yang sangat menantang ia berkata, ”Kau maunya gimana? Kau dimadu atau diceraikan?”

MasyaAllah... Kuat kan hati ini. Aku ingin jatuh pingsan. Hati ini seakan remuk mendengarnya. Hancur hatiku. Mengapa keluarganya bersikap seperti ini terhadapku. Aku selalu munutupi masalah ini dari kedua orang tuaku yang tinggal di pulau kayu tersebut, mereka mengira aku sangat bahagia dua tahun belakangan ini.

“Fish, jawab!!” Dengan tegas ibunya langsung memintaku untuk menjawab.

Aku langsung memegang tangan suamiku. Dengan tangan yang dingin dan gemetar aku menjawab dengan tegas. ”Walaupun aku tidak bisa berdiskusi dulu dengan imamku, tapi aku dapat berdiskusi dengannya melalui bathiniah. Untuk kebaikan dan masa depan keluarga ini, aku akan menyambut baik seorang wanita baru dirumah kami.” Itu yang aku jawab. Dengan kata lain aku rela cinta ku dibagi.

Pada saat itu juga suamiku memandangku dengan tetesan air mata, tapi mataku tak sedikit pun menetes di hadapan mereka. Aku lalu bertanya kepada suami ku, “Ayah siapakah yang akan menjadi sahabatku di rumah kita nanti, Yah?”

Suamiku menjawab, ”Dia Desi.”

Aku pun langsung menarik napas dan langsung berbicara, ”Kapan pernikahannya berlangsung? Apa yang harus saya siapkan dalam pernikahan ini, Nek?”

Ayah mertuaku menjawab, “Pernikahannya dua minggu lagi.”

”Baiklah kalo begitu saya akan menelpon pembantu di rumah untuk menyuruhnya mengurus KK kami ke kelurahan besok.”

Setelah berbicara seperti itu aku permisi untuk pamit ke kamar. Tak tahan lagi. Air mata ini akan turun. Aku berjalan sangat cepat. Aku buka pintu kamar, aku langsung duduk di tempat tidur. Ingin berteriak, tapi aku sendiri disini. Tak kuat rasanya menerima hal ini. Cintaku telah dibagi. Sakit, diiringi akutnya penyakitku. Apakah karena ini suamiku menjadi orang yang asing selama dua tahun belakangan ini?

Aku berjalan menuju ke meja rias. Kubuka jilbabku. Aku bercermin, sudah tidak cantikkah aku ini? Ku ambil sisirku. Aku menyisiri rambutku yang setiap hari rontok. Kulihat wajahku, ternyata aku memang sudah tidak cantik lagi. Rambutku sudah hampir habis, kepalaku sudah botak dibagian tengahnya.

Tiba–tiba pintu kamar ini terbuka, ternyata suamiku datang. Ia berdiri dibelakangku. Tak kuhapus air mata ini. Aku langsung memandangnya dari cermin meja rias itu. Kami diam sejenak, lalu aku mulai pembicaraan.

“Terimah kasih ayah, kamu memberi sahabat kepadaku. Jadi aku tak perlu sedih lagi saat ditinggal pergi kamu nanti, iya kan?”

Suami ku mengangguk sambil melihat kepalaku, tapi tak sedikit pun ia tersenyum dan bertanya kenapa rambutku rontok. Ia hanya mengatakan jangan salah memakai shampo. Dalam hatiku "mengapa ia sangat cuek?" Ia sudah tak memanjakanku lagi.

Lalu ia bilang, “Sudah malam, kita istirahat yuk!”

“Aku sholat isya dulu baru aku tidur”, jawabku tenang.

Dalam sholat, dalam tidur aku menangis. Ku hitung waktu, kapan aku akan berbagi suami dengannya. Aku pun ikut sibuk mengurusi pernikahan suamiku. Aku tak tahu kalau Desi orang Sabang juga. Sudahlah ini mungkin takdirku. Aku ingin suamiku kembali seperti dulu, yang sangat memanjakan aku. Dimana rasa sayang dan cintanya itu??

***

Malam sebelum hari pernikahan suamiku, aku menulis curahan hatiku di laptopku. Di laptop aku menulis saat–saat terakhirku melihat suamiku. Aku marah pada suamiku yang telah menelantarkanku. Aku menangis melihat suamiku yang tidur pulas. Apa salahku sampai ia berlaku kejam kepadaku? Aku save di My Document yang bertitle “Aku mencintaimu, Suamiku.”

Hari pernikahan telah tiba. Aku telah siap, tapi aku tak sanggup untuk keluar. Aku berdiri di dekat jendela. Aku melihat matahari. Mungkin aku takkan bisa melihat sinarnya lagi. Aku berdiri sangat lama. Lalu suamiku yang telah siap dengan pakaian pengantinnya masuk dan berbicara padaku.

“Apakah kamu sudah siap?”

Kuhapus airmata yang menetes diwajahku sambil berkata, “Nanti jika ia telah sah jadi istrimu, ketika kamu membawanya masuk ke dalam rumah ini, cucilah kakinya sebagaimana kamu mencuci kakiku dulu. Lalu ketika kalian masuk ke dalam kamar pengantin, bacakan do’a di ubun–ubunya sebagaimana yang kamu lakukan padaku dulu. Lalu setelah itu....”

Tak sanggup aku ingin meneruskan pembicaraan ini, aku ingin menagis meledak.

Tiba–tiba suamiku menjawab, “Lalu apa Bunda?”

Aku kaget mendengar kata itu. Yang tadinya aku menunduk, aku langsung menatapnya dengan mata yang berbinar–binar.

“Bisa kamu ulangi apa yang kamu ucapkan barusan?” pintaku untuk menyakini bahwa kuping ini tidak salah mendengar.

Ia mengangguk dan berkata, ”Baik bunda, akan ayah ulangi. Lalu apabunda?” Sambil ia mengelus wajah dan menghapus airmataku. Ia agak sidikit membungkuk karena ia sangat tinggi, aku hanya sedadanya saja. Dia tersenyum, sambil berkata, ”Kita lihat saja nanti ya!”

Dia memelukku dan berkata, “Bunda adalah wanita yang paling kuat yang ayah temui selain mama.”

Lalu ia mencium keningku, aku langsung memeluknya erat dan berkata, ”Ayah, apakah ini akan segera berakhir? Ayah kemana saja? Mengapa ayah berubah? Aku kangen sama ayah. Aku kangen belaian kasih sayang ayah. Aku kangen dengan manjanya ayah. Aku kesepian, ayah. Dan satu hal lagi yang harus ayah tau bahwa aku tidak pernah berzinah! Dulu waktu awal kita pacaran aku memang belum bisa melupakannya. Setelah empat bulan bersama ayah baru bisa aku terima jika yang dihadapanku itu adalah lelaki yang aku cari. Bukan berarti aku pernah berzina, ayah.”

Aku langsung bersujud di kakinya dan muncium kaki imamku sambil berkata, ”Aku minta maaf, ayah, telah membuatmu susah.” Saat itu juga, diangkatnya badanku. Ia hanya menangis. Ia memelukku sangat lama. Dua tahun aku menanti dirinya kembali.

Tiba–tiba perutku sakit. Ia menyadari bahwa ada yang tidak beres denganku. Dan ia bertanya, ”Bunda baik–baik saja kan?” tanyanya dengan penuh khawatir.

Aku pun menjawab, “Bisa memeluk dan melihatmu kembali seperti dulu itu sudah membuatku baik Yah.”

Aku tak bisa bicara sekarang karena ia akan menikah. Aku tak mau membuatnya khawatir. Ia harus khusyu menjalani acara prosesi akad nikah tersebut.

***

Setelah tiba di masjid, ijab qabul pun dimulai. Aku duduk di seberang suamiku. Aku melihat suamiku duduk berdampingan dengan perempuan itu. Membuat hati ini cemburu, ingin berteriak mengatakan “Ayah jangan!!” Tapi aku ingat akan kondisiku.

Jantung ini berdebar kencang ketika mendengar ijab qabul tersebut. Begitu ijab qabul selesai, aku menarik napas panjang. Tante Lia, tante yang baik itu, memelukku. Dalam hati aku berusaha untuk menguatkan hati ini, ya, aku kuat. Tak sanggup aku melihat mereka duduk bersanding di pelaminan. Orang-orang yang hadir di acara resepsi itu iba melihatku. Mereka melihatku sangat aneh. Wajahku yang selalu tersenyum tapi hatiku menangis.

Sampai dirumah, suamiku langsung masuk ke dalam rumah begitu saja, tak mencuci kakinya. Aku sangat heran dengan perilakunya. Apa iya, dia tidak suka dengan pernikahan ini? Sementara itu Desi disambut hangat di dalam keluarga suamiku, tak seperti aku yang dimusuhinya.

Malam ini aku tak bisa tidur. Bagaimana bisa, suamiku akan tidur dengan perempuan yang sangat aku cemburui. Aku tak tau apa yang mereka lakukan di dalam. Sepertiga malam, pada saat aku ingin sholat lail, aku keluar untuk berwudhu. Aku melihat ada lelaki yang mirip suamiku tidur di sofa ruang tengah. Kudekati lalu kulihat. MasyaAllah, suamiku tak tidur dengannya. Ia tidur di sofa.

Aku duduk di sofa itu sambil mengelus wajahnya yang lelah. Tiba–tiba ia memegang tangan kiriku, tentu saja aku kaget. “Kamu datang ke sini, aku pun tau”, ia langsung berkata seperti itu. Aku tersenyum dan mengajaknya sholat lail. Setelah sholat lail, ia berkata, “Maafkan aku, aku tak boleh menyakitimu. Kamu menderita karena egonya aku. Besok kita pulang ke Jakarta, biar Desi pulang dengan mama, papa, dan juga adik–adikku.”

Aku menatapnya dengan penuh keheranan. Tapi ia langsung mengajakku untuk istirahat. Saat tidur ia memelukku sangat erat. Aku tersenyum saja, sudah lama ini tidak terjadi. Ya Allah, apakah Engkau akan menyuruh malaikat maut untuk mengambil nyawaku sekarang ini, aku telah merasakan kehadirannya saat ini. Tapi masih bisakah Engku ijinkan aku untuk merasakan kehangatan dari suamiku yang telah hilang selama dua tahun ini?

Suamiku berbisik, “Bunda kok kurus?”

Aku menangis dalam kebisuan. Pelukannya masih bisa kurasakan.

Aku pun berkata, “Ayah kenapa tidak tidur dengan Desi?”

”Aku kangen sama kamu Bunda. Aku tak mau menyakitimu lagi, kamu sudah terluka oleh sikapku yang egois.” Dengan lembut suamiku menjawab seperti itu.

Lalu suamiku berkata, ”Bun, ayah minta maaf telah menelantarkan bunda. Selama ayah di Sabang, ayah dengar kalo bunda tidak tulus mencintai ayah. Bunda seperti mengejar sesuatu, seperti harta ayah. Dan satu lagi, ayah pernah melihat sms bunda dengan mantan pacar bunda yang isinya bunda gak mw berbuat seperti itu, dan seperti itu diberi tanda kutip. Ayah ingin ngomong tapi takut bunda tersinggung. Dan ayah berpikir kalau bunda pernah tidur dengannya sebelum bunda bertemu ayah. Terus ayah dimarahi oleh keluarga ayah karena ayah terlalu memanjakan bunda.”

Hati ini sakit ketika difitnah oleh suamiku, ketika tidak ada kepercayaan di dirinya. Hanya karena omongan keluarganya, yang tidak pernah melihat betapa tulusnya aku mencintai pasangan seumur hidupku ini.

Aku hanya menjawab, “Aku sudah ceritakan itu kan Yah. Aku tidak pernah berzinah, dan aku mencintaimu setulus hatiku. Jika aku hanya mengejar hartamu, mengapa kamu. Banyak lelaki yang lebih mapan darimu waktu itu, Yah. Jika aku hanya mengejar hartamu, aku tak mungkin setiap hari menangis karena menderita mencintaimu."

Entah aku harus bahagia atau aku harus sedih karena sahabatku sendirian di kamar pengantin itu. Malam itu, aku menyelesaikan masalahku dengan suamiku dan berusaha memaafkannya beserta sikap keluaraganya juga. Karna aku tak mau mati dalam hati yang penuh dengan rasa benci.

***

Keesokan harinya, katika aku ingin bangun untuk mengambil wudhu, kepalaku pusing. Rahimku sakit sekali. Aku pendarahan. Suamiku kaget. Suamiku kaget bukan main. Ia langsung menggendongku. Aku pun dilarikan ke rumah sakit.

Jauh sekali aku mendengar suara zikir suamiku. Aku merasakan tanganku basah. Ketika kubuka mata ini, kulihat wajah suamiku penuh dengan rasa khawatir. Ia menggenggam tanganku dengan erat dan berkata, ”Bunda, ayah minta maaf.” Berapa kali ia mengucapkan hal itu. Dalam hati ku, apa ia tahu apa yang terjadi padaku?

Aku berkata dengan suara yang lirih, ”Yah, bunda ingin pulang. Bunda ingin bertemu kedua orangtua bunda. Anterin bunda kesana ya Yah. Ayah jangan berubah lagi ya! Janji ya Yah! Bunda sayang banget sama Ayah.”

Tiba–tiba saja kakiku sakit. Sangat sakit. Sakitnya semakin ke atas. Kakiku sudah tak bisa bergerak lagi. Aku tak kuat lagi memegang tangan suamiku. Kulihat wajahnya yang tampan, linangan air matanya. Sebelum mata ini tertutup, kulafazkan kalimat syahadat dan ditutup dengan kalimat tahlil.

Aku bahagia melihat suamiku punya pengganti diriku. Aku bahagia selalu melayaninya dalam suka dan duka. Menemaninya ketika ia mengalami kesulitan dari kami pacaran sampai kami menikah. Aku bahagia bersuamikan dia. Dia adalah nafasku.
Untuk Ibu mertuaku, “Maafkan aku telah hadir di dalam kehidupan anakmu sampai aku hidup di dalam hati anakmu. Ketahuilah Ma, dari dulu aku selalu berdo’a agar Mama merestui hubungan kami. Mengapa engkau fitnah diriku di depan suamiku? Apa engkau punya buktinya, Ma? Mengapa engkau sangat cemburu padaku, Ma? Fikri tetap milikmu, Ma. Aku tak pernah menyuruhnya untuk durhaka kepadamu. Dari dulu aku selalu mengerti apa yang kau inginkan dari anakmu, tapi mengapa kau benci diriku? Dengan Desi kau sangat baik, tetapi denganku, menantumu, kau bersikap sebaliknya.”

***

Setelah kubuka laptop, kubaca curhatan istriku.

Ayah, mengapa keluargamu sangat membenciku?
Aku dihina oleh mereka, ayah.
Mengapa mereka bisa baik terhadapku pada saat ada dirimu?
Pernah suatu ketika aku bertemu Dian di jalan. Aku menyapanya karena dia adik iparku, tapi aku disambut dengan wajah ketidaksukaannya. Sangat terlihat, Ayah. Tapi ketika engkau bersamaku, Dian sangat baik, sangat manis, dan ia memanggilku dengan panggilan yang sangat menghormatiku. Mengapa seperti itu, Ayah? Aku tak bisa berbicara tentang ini padamu karena aku tahu kau pasti membela adikmu. Tak ada gunanya, Yah.
Aku diusir dari rumah sakit. Aku tak boleh merawat suamiku. Aku cemburu pada Desi yang sangat akrab dengan mertuaku. Tiap hari ia datang ke rumah sakit bersama mertuaku. Aku sangat marah. Jika aku membicarakn hal ini pada suamiku, ia pasti akan membela Desi dan ibunya. Aku tak mau sakit hati lagi.
Ya Allah, kuatkan aku. Maafkan aku. Engkau Maha Adil. Berilah keadilan ini padaku, Ya Allah.
Ayah sudah berubah. Ayah sudah tak sayang lagi padaku. Aku berusaha untuk mandiri, ayah. Aku tak akan bermanja–manja lagi padamu. Aku kuat, ayah, dalam kesakitan ini. Lihatlah, ayah, aku kuat walaupun penyakit kanker ini terus menyerangku. Aku bisa melakukan ini semua sendiri, ayah. Besok suamiku akan menikah dengan perempuan itu. Perempuan yang aku benci, yang aku cemburui. Tapi aku tak boleh egois. Ini untuk kebahagian keluarga suamiku. Aku harus sadar diri, Ayah. Sebenarnya aku tak mau diduakan olehmu. Mengapa harus Desi yang menjadi sahabatku? Ayah, aku masih tak rela. Tapi aku harus ikhlas menerimanya.
Pagi nanti suamiku melangsungkan pernikahan keduanya. Semoga saja aku masih punya waktu untuk melihatnya tersenyum untukku. Aku ingin sekali merasakan kasih sayangnya yang terakhir sebelum ajal ini menjemputku.
Ayah, aku kangen ayah...

Dan kini aku telah membawamu ke orang tuamu, Bun. Aku akan mengunjungimu sebulan sekali bersama Desi ke pulau kayu ini. Aku akan selalu membawakanmu bunga mawar yang berwana pink yang mencerminkan keceriaan hatimu yang sakit tertusuk duri. Bunda tetap cantik, selalu tersenyum disaat tidur. Bunda akan selalu hidup dihati ayah.

Bunda, Desi tak sepertimu yang tidak pernah marah. Desi sangat berbeda denganmu. Ia tak pernah membersihkan telingaku, rambutku tak pernah di creambathnya, kakiku pun tak pernah dicucinya. Ayah menyesal telah menelantarkanmu selama dua tahun. Kamu sakit pun aku tak peduli, dalam kesendirianmu. Seandainya Ayah tak menelantarkan Bunda, mungkin ayah masih bisa tidur dengan belaian tangan Bunda yang halus. Sekarang Ayah sadar bahwa ayah sangat membutuhkan bunda.

Bunda, kamu wanita yang paling tegar yang pernah kutemui. Aku menyesal telah asik dalam keegoanku. Bunda maafkan aku. Bunda tidur tetap manis. Senyum manjamu terlihat di tidurmu yang panjang. Maafkan aku tak bisa bersikap adil dan membahagiakanmu. Aku selalu mengiyakan apa kata ibuku karena aku takut menjadi anak durhaka. Maafkan aku ketika kau di fitnah oleh keluargaku, aku percaya begitu saja.

Apakah Bunda akan mendapat pengganti ayah di surga sana? Apakah Bunda tetap menanti ayah disana? Tetap setia di alam sana?
Tunggulah Ayah disana Bunda..
Bisa 'kan?
Seperti Bunda menunggu ayah di sini.
Aku mohon...
Ayah Sayang Bunda...

***


1 komentar:

  1. Terima kasih chubygreat untuk memulihkan pernikahan saya. Kami telah berpisah selama 3 tahun terakhir. Saya mulai mencari di Internet untuk orang-orang yang Tuhan memulihkan perkawinan mereka dan saya menemukan chubygreat mantera mantra yang hebat, karena dia telah membantu begitu banyak hubungan, saya menghubungi dia untuk membantu, tiba-tiba setelah membaca mantra, suami saya pulang ke rumah hanya 2 hari setelah casting mantera dan minta ampun dan sekarang kami hidup bersama dengan bahagia lagi terima kasih chuby bagus untuk bantuan Anda. e-mail chuby bagus untuk bantuan EMAIL melalui: chubygreat@gmail.com atau telepon atau whatsaap +2348165965904

    BalasHapus